Sukses

Dugaan Korupsi Pelabuhan Rp 286 Miliar Diusut Kejari Bengkulu

Sedikitnya 25 orang saksi yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran yang disiapkan pemerintah melalui PT Pelindo II sudah diperiksa.

Liputan6.com, Bengkulu - Kejaksaan Negeri Bengkulu mengusut dugaan tindak pidana korupsi terkait pengerukan alur Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu tahun 2011 sebesar Rp 286 miliar.

Tim penyidik Kejari Bengkulu telah memeriksa sedikitnya 25 orang saksi yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran yang disiapkan pemerintah melalui PT Pelindo II dan diserahkan pengelolaannya kepada pihak ketiga yaitu PT Pathaway.

Para pejabat pengambil kebijakan yang diperiksa tim penyidik itu adalah General Manager PT Pelindo II Ade Hartono, Kepala Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Bengkulu Pieter HB Vina, Kepala Dinas Perhubungan Ir Ali Berti, Kepala Bidang Perhubungan Laut Dinas Perhubungan Bardin dan beberapa saksi yang berkaitan langsung dengan proses pengerjaan pengerukan alur masuk Pelabuhan Pulau Baai.

Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu Wito mengatakan, uang negara sebesar Rp 286 miliar itu diduga diselewengkan atau dikorupsi karena dalam pelaksanaan kontrak kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan terkait proses dan kedalaman alur yang harus dicapai berdasarkan kontrak.

"Kita periksa para saksi untuk menentukan siapa saja yang bertanggung jawab serta siapa saja yang akan dijadikan tersangka. Anggaran Rp 286 miliar itu dibagi beberapa kegiatan seperti untuk Amdal, pengerukan dan sewa kapal. saat ini sedang dilakukan penghitungan berapa besar kerugian negara yang timbul akibat peristiwa hukum itu," jelas Wito di Bengkulu, Selasa (12/5/2015).

Kepala KSOP Bengkulu Pieter HB Vina disela-sela pemeriksaan mengatakan, pihaknya hanya dimintai keterangan sebatas peran KSOP dalam perannya memberikan kewenangan pengelolaan pelabuhan kepada pihak pengelola pelabuhan yaitu PT Pelindo II.

Terkait pengerukan, kata Pieter merupakan kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Bengkulu yang saat itu dipimpin Agusrin M Nadjamuddin sebagai pihak pertama, Pelindo sebagai Pihak kedua dan PT Phataway sebagai pelaksana atau pihak ketiga.

"Posisi Gubernur sebagai pihak pertama, memberikan kewenangan kontrak kerja kepada pihak ketiga yaitu PT Phataway yang uangnya disiapkan oleh PT Pelindo. Dalam perjalanannya, Pelindo melakukan putus kontrak sepihak dengan tidak melakukan pembayaran biaya pengerukan, disitu masalahnya," jelas Pieter. (Ado)