Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)Â Hadi Poernomo menyatakan, kerugian negara dalam kasus keberatan wajib pajak Bank Central Asia (BCA) pada 1999 tidak bisa dihitung. Hal itu dikatakan Hadi dalam sidang praperadilan atas penetapan tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
‎"Kerugian dalam kasus BCA tidak mungkin bisa dihitung. Karena masih ada upaya hukum bila dipandang salah oleh Dirjen Pajak," kata Hadi dalam sidang di Pengadilan ‎Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (18/5/2015).
Hadi menjelaskan, KPK berwenang menyidik kasus pidana korupsi jika ditemukan ada kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar. Kerugian negara itu, kata dia, juga harus dihitung lebih dulu oleh lembaga berwenang, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Akan tetapi, lanjut Hadi, BPK sudah mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa BPK belum pernah diminta oleh KPK untuk melakukan penghitungan kerugian negara atas keberatan wajib pajak BCA tahun 1999.
"‎BPK berwenang memeriksa keuangan negara. Dalam hal ini kerugian tidak bisa dihitung," kata Hadi yang juga mantan Direktur Jenderal Pajak.‎
‎
‎KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi dalam permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA) tahun 1999. Penetapan tersangka Hadi itu dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Pajak periode 2002-2004.
Selaku Dirjen Pajak, Hadi diduga menyalahgunakan wewenang. Ia diduga memerintahkan Direktur Pajak Penghasilan (PPh) untuk mengubah hasil telaah dan kesimpulan Direktorat PPh terhadap permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan BCA, yaitu dari awalnya ditolak menjadi diterima.
Dalam kasus ini, Hadi disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (Ndy/Yus)
Hadi Poernomo: Kerugian dalam Kasus Pajak BCA Tak Bisa Dihitung
Hal itu dikatakan Hadi dalam sidang praperadilan atas penetapan tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Advertisement