Sukses

Nuklir, Lebih Banyak Manfaat atau Mudarat?

Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak memprioritaskan pembangunan reaktor nuklir dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

Liputan6.com, Jakarta - Gempa dan tsunami menerjang Jepang. Pada Maret 2011 itu, lebih dari 18 ribu orang meregang nyawa. Tapi bencana tak berhenti di sana. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Fukushima mengalami kebocoran akibat tsunami.

Sekitar 200 ribu warga harus dievakuasi dari lokasi dengan radius aman sejauh 20 kilometer. Radiasi terjadi dan terdeteksi bahkan hingga ke Kanada. Bencana ini kembali memicu pro dan kontra soal keberadaan nuklir sebagai energi.

Tak terkecuali di Indonesia. Ada pihak yang bersikeras agar Indonesia segera membangun reaktor nuklir untuk sumber listrik. Namun ada pihak yang menentangnya.

Di Indonesia, pembangunan Pembangkit listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005 sampai 2025.

Salah satu alasan masuknya pembangunan PLTN masuk dalam RPJPN adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Menurut data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia diproyeksikan membutuhkan tambahan kapasitas pembangkit sebesar 59,5 gigawatt hingga 2022 atau rata-rata bertambah 6 gigawatt per tahun.

Tambahan kapasitas tersebut karena kebutuhan listrik Indonesia pada 2022 akan mencapai 386,7 terrawatt hours (TWh), termasuk untuk Jawa Bali sebesar 275 TWh, Indonesia Timur 46 TWh dan Sumatera 65,7 TWh.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan rencana pengembangan beberapa pembangkit listrik dari energi baru terbarukan. Namun, salah satu ide menarik yang terlontar dari kementerian ESDM adalah pengembangan energi nuklir.

Wacana tersebut langsung disambut oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti)  Mohamad Nasir.  Kemenristek Dikti sebenarnya telah melakukan penelitian pengembangan nuklir. "Kami sudah menyiapkan research and development rekayasa daya eksperimen nuklir power plant yang dibangun untuk edukasi," ujar Nasir.

Kemenristek Dikti pun saat ini tengah menyiapkan Rekayasa Daya Eksperimen (RDE) reaktor nuklir untuk edukasi yang menghasilkan listrik 30 Mw di Serpong.

Dalam membangun RDE untuk edukasi, lanjutnya, Kementerian Ristek dan Dikti belajar dari Jepang, Korea Selatan, Rusia, Finlandia, dan Jerman. Saat ini masuk uji tapak di 2015, dan proses pembangunan pada tahun depan sehingga diharapkan mulai commisioning pada 2018.

"Kami sudah lapor ke Presiden Jokowi. Satu reaktor akan digunakan untuk kesehatan dan pangan, serta reaktor kedua dimanfaatkan untuk kepentingan energi‎," papar Nasir, pekan lalu.

2 dari 3 halaman

Siap Bangun 5 Reaktor

Kemenristek Dikti pun terus mendesak Kementerian ESDM untuk membangun reaktor nuklir agar Indonesia tidak ketinggalan dengan negara lain dalam memenuhi kebutuhan listrik. Nasir mengaku, pembangunan PLTN secara komersial merupakan wewenang dari Kementerian ESDM.

"‎Kita harus sudah selesai membangun 5 pasang reaktor nuklir di 2025. Jika sepasang reaktor nuklir menghasilkan produksi listrik 1.400 Megawatt (Mw), maka totalnya bisa mencapai 14 ribu Mw. Minimal 10 ribu Mw," tegas dia.

Negara lain sebenarnya cukup tertarik membenamkan investasi untuk pembangunan reaktor nuklir maupun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Sebut saja perusahaan Rusia NUKEM Technologies GmBH, anak usaha dari Rosatom yang merupakan perusahaan nuklir milik pemerintah, bersama dengan PT Rekayasa Engineering dan PT Kogas Driyap Konsultan akan mengerjakan pembangunan reaktor gas cooled multifungsi bersuhu tinggi dengan kapasitas 10 Megawatt (Mw) di kawasan Serpong, Banten.

"Negara lain rebutan investasi, bukan mau saja. Kita saja yang belum berani atau membuka diri," ujar dia.

Komisi VII DPR RI pun mendukung rencana pendirian PLTN. Rencananya, Komisi VII akan merombak Kebijakan Energi Nasional (KEN), agar Indonesia bisa menikmati nuklir sebagai sumber energi kelistrikan.

Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mengatakan, pihaknya akan mendorong penggunaan teknologi nuklir sebagai sumber energi PLTN, dengan merevisi aturan pengembangan energi nuklir. "Kami di DPR akan mendorong PLTN dengan mengganti aturan pengembangan energi nuklir," kata Kurtubi.

Dalam KEN yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, disebut nuklir menjadi pilihan energi terakhir digunakan di Indonesia. Artinya, Indonesia dalam waktu dekat tak akan menggunakan nuklir sebagai sumber energi.

"Kami membenahi regulasi KEN pembangkit listrik tenaga nuklir opsi terakhir ini menyebabkan nuklir tak berkembang," ungkapnya.

Menurut Kurtubi, meski pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) membutuhkan investasi besar, tetapi listrik yang dihasilkan harganya sangat murah, bahkan lebih murah dari listrik yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

"Pembangkit listrik tenaga nuklir kapasitas besar biaya murah teknologinya sudah maju di Jepang," tuturnya.

Ia menambahkan, Indonesia memilki rencana pengembangan energi nuklir sejak masa pemerintahan Presiden Sukarno, namun rencana tersebut tidak kunjung terwujud. Karena itu, Kurtubi ingin ada pembangunan PLTN dalam 5 tahun ke depan.

Untuk lokasi ideal pembangunan reaktor nuklir, Nasir merekomendasikan di Bangka Belitung, Jepara Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Pendirian reaktor nuklir, Nasir mengatakan, membutuhkan investasi besar. Namun Nasir tidak menyebut secara spesifik nilai investasi tersebut. "Yang pasti investasinya besar," ujar Nasir.  

Kepala Batan, Djarot Sulistio Wisnubroto, mengungkapkan mengapa lokasi tersebut cocok untuk membangun PLTN. Menurutnya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Batan, lokasi tersebut sangat minim terjadi gempa. Karena itu, untuk menghindari kejadian di Fukushima, Jepang, Indonesia harus pintar-pintar memilih lokasi.

Nasir menambahkan, Indonesia telah memiliki sumber daya manusia yang piawai dalam mengelola teknologi nuklir. Hal tersebut didukung adanya jurusan teknik nuklir pada beberapa perguruan tinggi negeri.

"Kemampuan sumber daya manusia luar biasa. Ada fakultas teknik nuklir di ITB, UGM, ini yang dibutuhkan tersedia," katanya.

Banyak sumber daya manusia Indonesia sudah digunakan di luar negeri. "Reaktor nuklir di dunia sudah menggunakan lulusan Indonesia. Jumlahnya sekitar 10 orang. Ada 15 orang Indonesia sudah masuk di tenaga atom internasional. Saya rasa Indonesia sudah siap tak masalah," kata Nasir.

3 dari 3 halaman

Penolakan

Namun, pemerintah saat ini sepertinya enggan untuk membangun PLTN. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil memastikan reaktor nuklir tak akan dibangun oleh pemerintahan Jokowi dalam waktu lima tahun mendatang.

"Akibat kejadian di Fukushima. Jepang, pembangunan nuklir di Indonesia masih banyak perdebatan. Ini baru tahap awal desain oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) atau Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dengan reaktor skala kecil yang dibiayai dari APBN," terangnya.

Sofyan memastikan, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak memprioritaskan pembangunan reaktor nuklir dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

"Bangun reaktor nuklir masih jauh. Selama lima tahun ini tidak ada program pembangunannya. Sebab setelah kejadian Fukushima itu kita harus hati-hati, termasuk perlu mencari tempat aman dan pas untuk pembangunan nuklir," tegasnya.

PT PLN (Persero) pun juga ikut rembuk mengungkapkan kesulitan terbesar merencanakan PLTN, di antaranya adalah ketidakjelasan biaya modal, limbah radio aktif (radioactive waste management) dan decommisioning serta biaya terkait nuclear liability.

Untuk kapital, misalnya, sebuah studi bersama antara PLN dan sebuah perusahaan listrik dari luar negeri pada 2006 mengindikasikan biaya investasi PLTN sebesar US$ 1.700 per kilo Watt (kW) (EPC saja) atau US$ 2.300 per kW (setelah memperhitungkan biaya bunga pinjaman selama konstruksi).

Angka tersebut kini dipandang terlalu rendah, karena menurut berbagai laporan yang lebih baru, biaya pembangunan PLTN pada beberapa negara telah mencapai angka jauh lebih tinggi.

Dalam feasibility study PLTN yang dilaksanakan oleh PLN dengan dibantu konsultan luar negeri pada  2014, diperoleh biaya investasi PLTN  sekitar US$ 6.000 per kW.

Sumber Liputan6.com menyebutkan, adanya penolakan penggunakan teknologi nuklir sebagai sumber energi di Indonesia karena adanyan persaingan bisnis.

Menurutnya, ada pihak-pihak yang dengan sengaja menolak kehadiran teknologi nuklir meskipun teknologi tersebut memberikan dampak positif yang cukup besar. Penolakan tersebut dilakukan karena pihak-pihak tersebut tidak ingin bisnisnya terganggu dengan hadirnya teknologi nuklir sebagai komoditas energi.

“Contohnya, di Jepara, Jawa Tengah, PLTN ditolak dibangun karena pengusaha lokal tak ingin upah pekerja naik karena adanya PLTN,” jelas sumber tersebut.