Liputan6.com, Jakarta - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dinilai bisa berjalan, meski tidak diikuti Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun kondisi ini, bisa memicu eksodus besar-besaran para incumben ke partai lain, yang dapat merugikan 2 partai kawakan itu.
"Pada dasarnya partai lain, terutama partai baru masih haus kader-kader yang bagus di daerah. Jadi kalau incumbent (petahana) yang berpotensi, misalnya Pak Basuki Tjahaja Purnama tidak bisa maju lagi dari Golkar, maka saya yakin partai-partai lain akan sigap menampung," kata Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto dalam diskusi bertajuk 'Akankah Golkar Terganjal Pilkada?' di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/5/2015).
Sementara bagi kader yang kurang kompetitif, Nico menilai, tentu ketidakikutsertaan Golkar dan PPP menjadi masalah besar bagi mereka. Sebab, partai lain sulit melirik mereka diajukan dalam Pilkada. Karena pencalonan mereka hanya mengandalkan nama besar 2 partai itu.
"Orang semacam ini yang sangat berkepentingan sekali, supaya Golkar atau PPP bisa mengikuti Pilkada serentak," lanjut dia.
Nico berpendapat, loyalitas kader terhadap partai politik cenderung situasional. Contoh kasus, si A adalah anggota partai 1. Tapi karena yang berkuasa di daerah tersebut partai 2, maka si A pindah ke partai 2 untuk memudahkan kepentingannya.
"Jadi sangat mungkin seperti itu. Oleh karena itu saya kira dalam konteks Pilkada ini, jangan sampai kita mengorbankan demokrasi hanya untuk mengakomodasi kartel politik, atau politisi-politisi yang terbukti memiliki motif politik tidak baik terhadap demokrasi," pungkas Nico.
Kedua kubu Partai Golkar baik versi Munas Ancol Jakarta yang diketuai Agung Laksono maupun versi Munas Bali yang diketuai Aburizal Bakrie atau Ical, siang ini mendatangi kediaman mantan presiden BJ Habibie--yang tak lain adalah tokoh senior Golkar.
Sekretaris Jenderal Golkar versi Munas Ancol, Zainudin Amali mengatakan, dalam pertemuan tersebut disepakati kedua kubu untuk bekerja sama dalam menghadapi Pilkada. Namun belum ditentukan hari penandatanganan kerja sama itu.
Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hingga kini belum juga bersatu, meski sudah ada upaya islah. Proses di jalur hukum belum juga selesai.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan Wakil Kamal yang meminta pembatalan DPP PPP hasil Muktamar Surabaya dan Muktamar Jakarta, serta gugatan intervensi yang diajukan Majid Kamil Maimoen terkait hasil Muktamar Surabaya.
Dengan demikian, PPP versi Muktamar Surabaya atau kubu Romahurmuziy atau Romi memenangkan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa 19 Mei 2015.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DPP PPP Hadrawi Ilham berharap, putusan PN Jakpus tersebut bisa menjadi salah satu pertimbangan hukum bagi Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), di mana kubu Romi melakukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). (Rmn)
Begini Jika Golkar dan PPP Tidak Ikut Pilkada
Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto berpendapat, loyalitas kader terhadap partai politik cenderung situasional.
Advertisement