Liputan6.com, Sigi - Sebagai daerah yang baru enam tahun mekar di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi ternyata memiliki kekayaan sejarah. Contohnya situs purbakala berupa perkakas batu dari zaman megalitikum satu ini. Batu tersebut ditaksir berusia 3.913 tahun.
Letaknya ada di Dusun II Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi. Desa ini memang daerah yang paling banyak memiliki 'harta karun' di Sigi. Jenis temuan yang ada di sejumlah situs bersejarahnya pun relatif banyak. Sedikitnya terdapat 68 bongkahan batu purbakala atau megalit yang terbagi dalam lima jenis.
Jenis terbanyak adalah batu lumpang sebanyak 42 bongkahan, disusul batu menhir sembilan bongkahan, batu dulang delapan, batu tambaga enam dan batu dakon tiga bongkahan.
Batu lumpang di lokasi cagar budaya itu memiliki ukuran beragam. Ciri khasnya, batu ini memiliki satu lubang di bagian atas. Ukuran lubang yang terdapat pada setiap bongkahannya bervariatif. Itulah mengapa batu jenis itu disebut lumpang.
Begitu pun batu dakon. Batu ini memiliki lubang di bagian atas. Hanya saja batu dakon mempunyai banyak lubang. Bentuknya yang mirip permainan dakon merupakan asal dari penamaan batu itu.
"Entah tekstur dan lubang pada batu-batu itu sengaja dibentuk sejak ribuan tahun lalu atau tidak. Yang pasti keunikan tersebut yang membuat lokasi situs bersejarah di Kulawi ini begitu istimewa bagi para pengunjung," ujar Juru Pelihara Situs Bersejarah dan Cagar Budaya Kecamatan Kulawi, Yunus Tomeke, kepada Liputan6.com, belum lama ini.
Advertisement
Sementara, batu menhir di Kulawi Sigi ini posisinya tidak seperti kebanyakan batu jenis ini. Batu menhir di sini terletak horizontal. Batu tersebut diduga berfungsi sebagai tempat pemujaan dan meletakkan pusaka pada zamannya. Bentuk dan fungsinya pun hampir sama dengan batu tambaga.
Sedangkan batu dulang memiliki bentuk tekstur yang tidak beraturan. Batu ini dapat ditandai dari corak dan warnanya yang cenderung berwarna kehijauan dan mempunyai tingkat kepadatan tinggi.
"Dari lima jenis batu purbakala itu, batu tambaga yang paling dikenal masyarakat di mana konon batu jenis itu sering digunakan sebagai ritual pada zaman berdirinya Kerajaan Kulawi. Di mana batu jenis itu dilibatkan dalam ritual adat, termasuk saat hendak pergi berperang. Kalau orang sekarang bilang seperti selamatan dengan cara menyembelih kerbau. Tapi tradisi itu sudah tidak ada sekarang," urai Yunus.
Situs bersejarah ini diketahui merupakan salah satu aset cagar budaya nasional dan ditangani pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Sejarah dan Purbakala pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI serta dilindungi oleh Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya.
Menurut Yunus, puluhan batu megalit tersebut ditaksir sudah ada sejak 1916 sebelum masehi (SM). Jadi jika dikalkulasi, maka umurnya berkisar 3.931 tahun. Ini mengacu hasil penelitian dari para arkeolog di kementerian.
Berdasarkan asal-usul sejarah, puluhan batu ini memang posisinya dari dulu tidak pernah berpindah dari Desa Bolapapu Kecamatan Kulawi.
"Waktu saya mengawali menjaga cagar budaya ini tahun 2003 atau 12 tahun silam, kondisinya memprihatinkan. Batu-batu megalith ini begitu tidak terawat. Sampai akhirnya tahun 2004 di era Presiden Ibu Megawati, pemerintah pusat mulai mengelola situs ini. dari situ mulai ada perubahan positif," jelas dia.
Sang Penjaga
Sebelum dikelola dan ditetapkan sebagai situs cagar budaya nasional, masyarakat secara umum saat itu masih belum terlalu sadar betapa pentingnya memelihara peninggalan bersejarah tersebut. Namun, kesadaran itu terus meningkat pascasemakin banyaknya pengunjung berdatangan dari luar daerah hingga mancanegara.
"Pengunjung situs bersejarah ini sejak awal dibuka sebagai objek wisata didominasi pelajar, mahasiswa hingga para peneliti serta pemerhati budaya dari dalam maupun luar negeri. Situasi seperti itulah yang perlahan mengubah pola pikir masyarakat, Bolapapu yang notabene desa terpencil, tapi bisa juga dikunjungi turis," imbuh Yunus.
Sekarang, masyarakat sudah sadar dan turut andil menjaga serta melestarikannya. Masyarakat setempat berfungsi sebagai penjaga situs yang berada di area perkebunan. Tidak jarang mereka membersihkan batu-batu itu dari kotoran.
Sejarah Kerajaan Kulawi
Perlu diketahui pula, puluhan batu bersejarah tersebut juga berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Kulawi. Tak heran di area cagar budaya itu terdapat sejumlah peninggalan bersejarah dari kerajaan, seperti makam Raja Djiloy (Raja Kulawi) beserta asistennya dan rumah Raja Djiloy.
Meski Raja Djiloy wafat pada 1962, makamnya dibangun menggunakan batu alam pada 2009 oleh ahli waris.
Sebelum Indonesia didaulat merdeka, Kerajaan Kulawi sempat runtuh dan masuk daerah penjajah Belanda. Adapun peninggalan dari zaman penjajahan, yakni makam pimpinan penjajah dari Belanda hingga bangunan Pesanggrahan yang masih digunakan hingga kini.
"Pesanggrahan yang dibangun Belanda tahun 1940 silam, kini masih layak dijadikan lokasi bermalam bagi para pengunjung. Bahkan terdapat ruangan yang bisa difungsikan untuk kegiatan pertemuan. Bangunan ini terakhir direnovasi pada tahun 1971 oleh pemerintah Presiden Soeharto. Tapi kondisi fisiknya begitu kuat sampai sekarang," sambung Yunus.
Sementara untuk menuju ke lokasi wisata budaya tersebut, pengunjung harus menempuh perjalanan 80 kilometer dari Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah. Waktu tempuhnya bisa mencapai empat jam.
Rute yang harus dilalui adalah pegunungan dengan kondisi jalan tidak bersahabat. Terutama ketika sudah memasuki batas wilayah Kecamatan Kulawi.
"Kalau sudah masuk wilayah Kulawi, pengunjung pasti melewati jalan bekas longsoran pasir dan bebatuan. Belum lagi beberapa titik jalan di Kulawi kurang bagus, sehingga menghambat perjalanan," kata Yunus.
Walau begitu pengunjung tidak perlu khawatir, karena tidak perlu merogoh kocek untuk melihat langsung situs bersejarah mulai dari batu megalit hingga peninggalan Belanda. Wisatawan juga dapat bermalam di Pesanggrahan dengan tarif tertentu.
"Pesanggrahan ini kami kelola dengan baik selayaknya penginapan. Ada lima kamar yang siap digunakan masing-masing kamar dapat digunakan dua sampai empat orang. Kami juga mempunyai juru masak dan pelayan agar para pengunjung tidak perlu lagi mencari penginapan. Sebenarnya ini juga keuntungan bagi pengunjung yang dapat bermalam di sebuah gedung peninggalan Belanda," pungkas Yunus.
Menurut dia, sebagian pemasukan dari Pesanggrahan itu tetap disetor ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi sebagai bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bagaimana, tertarik mengunjungi situs purbakala tersebut? (Bob/Ans)