Sukses

Ragam Ulah Cacing Tanah

Cacing memilih keluar setelah hujan karena mereka menemukan kondisi di atas tanah lebih ‘menguntungkan’ dibanding di bawah tanah.

Liputan6.com, Jakarta - Cacing tanah ternyata tak hanya meresahkan warga Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kehebohan juga muncul di Negara Bagian Texas, Amerika Serikat, akibat kemunculan cacing dalam jumlah banyak secara tiba-tiba.

Awalnya para penjaga Eisenhower State Park di Texas mengira seseorang meninggalkan spageti, lengkap dengan bumbunya, di tengah jalan, di sekitar garis kuning yang memisahkan lajur. Namun, ketika didekati, benda misterius itu ternyata bukan mi Italia, melainkan gundukan cacing tanah berwarna merah muda yang membentuk barisan.

Para petugas menemukan fenomena tak biasa itu pada 29 Mei 2015, di jalan raya di belakang taman nasional di Denison, Texas, Amerika Serikat.

"Kami masih bingung, mengapa mereka memutuskan untuk berbaris di tengah jalan," kata inspektur di taman nasional itu, Ben Herman seperti dikutip dari ABC News, Kamis (4/6/2015).

"Bahkan ahli biologi kami pun tak habis pikir bagaimana cacing-cacing itu bisa menempatkan diri mereka dengan baik, mengatur jarak, dalam satu barisan yang nyaris sempurna," imbuh dia.

Para penjaga (ranger) kemudian memutuskan untuk mengurai gundukan itu, untuk memastikan ada apa di baliknya. Ternyata, di dalamnya hanya terdiri dari cacing-cacing tanah belaka.

Hewan yang masuk kelompok Oligochaeta tersebut ada di sana selama 2 hari, sebelum kembali ke dalam tanah, meninggalkan kotoran mereka di atas aspal jalan.

Pihak Eisenhower State Park berpendapat, setidaknya ada 2 teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena tersebut.

Pertama, hujan lebat yang mengguyur Texas dan sekitarnya membuat tanah yang menjadi habitat para cacing jenuh. Air yang meresap memaksa hewan-hewan invertebrata itu pindah ke area yang lebih kering, yaitu di atas jalan aspal.

Teori kedua adalah bunyi guyuran hujan mirip suara predator yang menerjang masuk ke dalam lubang tempat para cacing berada. Jadi, mereka pun memutuskan pindah, saling berkumpul, untuk menghindari pemangsa.

Namun tak ada yang bisa menebak, bagaimana cacing-cacing bisa sampai ke sana.

Tumpukan cacing tanah tersebut hanya ditemukan jalan di bagian belakang taman nasional yang ditutup karena banjir. Herman mengungkapkan, fenomena tersebut tak pernah dilaporkan terjadi di taman nasional lain.

"Kami terkesima dengan apa yang terjadi," kata dia. "Sungguh menghibur menyaksikan cacing bertingkah seperti itu."

Eisenhower State Park memiliki luas lebih dari 4.560 hektar, lokasinya sekitar 1 jam dari perbatasan Negara Bagian Oklahoma.

Cacing Bantul Pertanda Gempa?

Sebelumnya, warga Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta juga diresahkan kabar yang tersebar lewat media sosial: cacing-cacing keluar dari dalam tanah dalam kondisi lemas. Sejumlah orang mengaitkannya dengan peristiwa gempa 5,9 skala Richter yang pernah mengguncang, Sabtu Wage 27 Mei 2006.

"Dari Bantul merata, wilayah Berbah, Prambanan, sampai Solo, ada fenomena aneh, banyak cacing keluar dari tanah dalam keadaan lemas," demikian kutipan yang menyebar di media sosial.

Penyebar pesan bahkan mengaku, salah satu rekannya yang merupakan anggota Basarnas menganjurkan agar masyarakat siap menghadapi kondisi darurat.

"Karena dulu saat gempa terjadi seminggu setelah fenomena cacing ini juga, analisa awal terjadi peningkatan aktivitas tektonik di jalur subduksi kidul kuno, akibat terjadi pelepasan energi ke permukaan tanah," demikian lanjut isi pesan itu.

Saat dimintai konfirmasi, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul Dwi Daryanto mengakui adanya kemunculan cacing tersebut di wilayah Karangjati, Kasihan, Bantul. Namun dirinya melihat hal ini terjadi karena adanya fenomena hujan saat musim kemarau.

"Memang kemarin saat liburan saya bersama istri saya jalan-jalan, melihat banyak cacing muncul, jumlahnya memang banyak. Dan kemarin kan sempat hujan, dan saat ini panas. Kemungkinan karena kepanasan mereka muncul di permukaan," kata dia, Rabu 3 Juni 2015.

Daryanto mengakui ada beberapa laporan dari warga terkait fenomena ini. Ia berharap masyarakat tidak mempercayai fenomena itu berkaitan dengan gempa. Namun, ia tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada karena DIY merupakan daerah yang rawan gempa bumi.

"Sampai saat ini belum ada penelitian yang membuktikan jika kemunculan cacing tersebut akan muncul gempa. Jadi masyarakat jangan sampai resah dengan fenomena tersebut, namun tetap waspada karena kita memang hidup di wilayah rawan bencana," katanya.

Masa Transisi Pergantian Musim

Sementara Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Surono menegaskan, fenomena itu muncul karena adanya perubahan iklim pancaroba dan tidak terkait dengan gempa bumi seperti 2006 lalu.

"Ini masa transisi musim hujan ke musim panas. Waspada bahwa Bantul rawan gempa bumi, tapi kepanikan jangan berlebihan," ujar Surono di Yogyakarta, Rabu (3/6/2015).

Pria yang akrab disapa Mbah Rono ini menyebut Bantul memang menjadi daerah rawan gempa. Pada 1946, lindu besar menggoyang Bantul dan kembali terjadi setelah 60 tahun kemudian, yaitu pada 2006.

Dia juga mengungkapkan fenomena munculnya cacing itu tidak bisa dikaitkan dengan kondisi Gunung Merapi. Karena kondisi Merapi saat ini dalam keadaan normal.

"Saya pikir masyarakat Yogya cukup cerdas. Bantul memang rawan gempa. Tahun 1946 terjadi gempa dan baru terjadi gempa lagi pada 2006, sekitar 60 tahun kemudian. Sekarang 2006 sampai sekarang (tahun ini) kan baru berapa tahun? Apakah cukup energi yang terkumpul untuk gempa seperti 2006?" jelas Mbah Rono.

Ia menyatakan tak ada alat atau teknologi yang mumpuni untuk meramalkan akan terjadinya gempa bumi. Masyarakat diminta tetap tenang dan tidak termakan isu yang meresahkan.

"Tidak ada teknologi meramalkan ke depan akan terjadi gempa, bisa dideteksi, tapi tidak tahu kapan," ujar Mbah Rono.

Hal ini senada dengan yang disampaikan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengenai fenomena tersebut.

"Menurut saya, cacing dan semut merespons perubahan musim hujan ke musim kemarau," kata dia, Rabu 3 Juni 2015.

Bagaimana dengan kemungkinan kaitan dengan gempa di wilayah DIY, dan khususnya Bantul? Sutopo menjelaskan, sejarah mencatat gempa terjadi di wilayah tersebut pada 1943.

"Dan ini tahun 2015, apakah mungkin dalam waktu 9 tahun dapat mengumpulkan energi untuk terjadinya gempa seperti 2006 dan 1943? kok rasanya sulit," kata dia.

Dia menambahkan, Merapi dalam kondisi normal, tak ada tanda-tanda [peningkatan aktivitas]( 2244442 ""). "Semoga hewan-hewan hanya menyesuaikan diri dari transisi musim hujan ke musim kemarau saja," tambah dia.

Energi Gempa Butuh Puluhan Tahun

Keterangan itu diperkuat pakar gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja. "Kemungkinannya kecil kalau (alasan cacing-cacing ke permukaan tanah) karena tektonik," kata Danny kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (3/6/2015).

Dia mengatakan, jikapun ada gempa, kemungkinan itu karena aktivitas tektonik yang berasal dari lepas pantai. Meskipun lokasi tersebut, menurut dia, berada jauh dari lepas pantai.

Sementara, kata Danny, energi untuk bisa menimbulkan gempa besar di lokasi itu telah terpakai pada 2006. Dan butuh waktu puluhan tahun untuk mengumpulkan energi baru sebelum bisa menghasilkan gempa.

Dia menduga, ada faktor lain yang menyebabkan cacing-cacing tersebut gelisah dan keluar hingga ke permukaan tanah. "Kemungkinan besar karena ada perubahan iklim, perubahan environment (lingkungan)," ucap dia.

Namun begitu, dia tak menampik, ada kemungkinan gejala tektonik di suatu tempat bisa saja terbaca lewat perilaku hewan-hewan di sekitarnya. Seperti cacing ini. Perubahan di alam, kata dia, dapat membuat hewan-hewan merasa gelisah dan tak nyaman.

"Insting makhluk hidup bisa merasakan perubahan di alam, seperti waktu gempa di Padang (Sumatera Barat). Sejak sebelum gempa kok tiba-tiba hewan-hewan besar yang nggak keluar, tiba-tiba keluar," ujar dia.

Namun, menurut Danny, hal itu tak selalu terjadi sehingga tak bisa dijadikan indikator atau tolak ukur pertanda gempa. Butuh alat untuk memastikan hal tersebut.

"Enggak selalu terjadi, waktu (gempa) Aceh nggak ada, waktu gempa Nias nggak ada, Mentawai nggak ada," tutur dia.

"Belum tervalidasi. Kalau ada satu metode yang nggak tentu, enggak bisa diulang lagi dengan cara yang sama, enggak bisa diakui sebagai scientific method (metode ilmiah)," pungkas Danny.

Hujan Cacing di Norwegia

Fenomena cacing tanah di Texas dan Bantul sebenarnya tidak terlalu aneh jika dibandingkan kejadian lainnya yang masih terkait dengan cacing. Seperti pada April lalu yang terjadi di Norwegia.

Penemuan tak biasa dilaporkan seorang guru Biologi. Ia mengaku menemukan kumpulan cacing di atas gundukan salju, yang awalnya dikira sudah mati namun kenyataannya tidak. Hewan melata itu masih menggeliat-geliat.

"Ketika aku menemukan mereka di salju, sepertinya sudah mati. Tetapi ketika diletakkan di tangan, terlihat tanda hewan itu masih hidup," ujar Karstein Erstad kepada situs berita Norwegia, The Local seperti dikutip dari Daily Mail, Jumat 17 April 2015.

Setelah penemuan Erstad pada Minggu 12 April, dilaporkan terjadi hujan cacing lagi di Norwegia selatan. Sekumpulan cacing itu menghujani Lindas, Suldal dekat Bergen, juga di Femunden.

Fenomena cuaca aneh berupa ribuan cacing tanah hidup berjatuhan dari langit itu, tak ayal membuat warga di sana keheranan.

"Ini adalah fenomena yang sangat jarang terjadi. Sulit mengetahui sudah berapa kali fenomena hujan cacing itu terjadi, tetapi baru sedikit yang dilaporkan," jelas Erstad.

Erstad menuturkan, ia sempat menemukan laporan fenomena serupa terjadi di Swedia pada 1920-an.

Pada 2011, sekelompok siswa yang sedang bermain sepak bola di Galashiels Academy, Skotlandia heran bukan kepalang. Sebab, cacing-cacing berjatuhan ke tubuh mereka.

Mereka menghentikan permainan sepak bolanya, saat hewan invertebrata itu mulai menghujani mereka.

Bukan hanya cacing yang secara misterius turun dari langit. Menurut Mother Nature Network, beberapa insiden hujan binatang terjadi setelah tornado dan badai. Para ilmuwan menduga makhluk itu tersedot pusaran angin kuat yang terjadi lalu terbawa di dalamnya, dan berjatuhan saat kekuatan cuaca buruk itu melemah.

Cacing tanah memang sering ditemukan keluar dari liangnya dan berkeliaran di jalan, kebun, atau trotoar setelah hujan. Singkatnya, cacing memilih keluar setelah hujan karena mereka menemukan kondisi di atas tanah lebih ‘menguntungkan’ dibanding di bawah tanah.

Mitos yang umum menyatakan bahwa cacing tanah keluar dari liang karena jika tetap bersembunyi di lubang mereka akan tenggelam. Tentu saja hal ini tidak benar karena cacing bernapas melalui pertukaran gas yang terjadi di kulit.

Selama air memiliki oksigen terlarut yang cukup, cacing bisa hidup selama beberapa hari di dalam air. Cara bernapas cacing ini pula yang menjelaskan mengapa mereka keluar lubang setelah hujan.
 
Kulit cacing dilapisi lendir untuk memfasilitasi pertukaran gas. Konsekuensinya, kulit cacing harus selalu lembab. Kondisi di atas tanah umumnya panas dan kering yang akan membuat kulit cacing kehilangan kelembaban dan membuatnya tidak bisa bernapas.

Setelah hujan, permukaan tanah menjadi lembab. Hal ini menguntungkan cacing sehingga mereka tertarik untuk muncul ke permukaan.

Cacing tanah juga lebih memilih untuk kawin di atas tanah. Cacing keluar setelah hujan dalam harapan menemukan pasangan. Saat berada di atas tanah cacing juga sering ditemukan dalam kelompok kecil.

Cacing termasuk hermafrodit, namun tetap memerlukan cacing lain agar terjadi pertukaran sperma yang digunakan untuk membuahi telur.

Selain setelah hujan, cacing tanah juga keluar pada malam hari. Pada malam hari, udara jauh lebih dingin, dan lingkungan sering lembab, sehingga ramah terhadap cacing tanah. (Ado)