Sukses

Perlawanan Vonis Lipat Ganda Anas Urbaningrum

Melalui pengacaranya, Handika Honggo Wongso, Anas mengungkapkan pernyataan terkait putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap dirinya.

Liputan6.com, Jakarta - "Palu hakim kasasi berlumuran 'darah' kebenaran, dan kemanusiaan dilukai secara sengaja oleh nafsu menghukum yang menyala-nyala." Itulah yang diutarakan Anas Urbaningrum setelah upaya hukum kasasinya gagal dan vonis hukumannya berlipat ganda.

Melalui pengacaranya, Handika Honggo Wongso, Anas mengungkapkan 3 pernyataan terkait putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap dirinya. Salah satunya terkait vonis kasasi yang melipatgandakan ‎hukuman dari 7 tahun menjadi 14 tahun penjara yang dinilainya telah menodai keadilan.

Selain vonis yang berlipat ganda, mantan ketua Partai Demokrat itu juga dikenai denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan. Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung juga mengharuskannya membayar uang pengganti Rp 57.592.330.580 kepada negara.

Bila uang pengganti ini dalam waktu 1 bulan tidak dilunasinya, seluruh kekayaannya akan dilelang. Jika tidak dibayar, belum cukup, Anas terancam penjara selama 4 tahun. Dengan kata lain hukuman menjadi 18 tahun.

Majelis Agung mengacu kepada ketentuan Pasal 69 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa predicate crime tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.

Anas Urbaningrum di pengadilan Tipikor. (ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna)

Majelis yang memeriksa kasasi Anas Urbaningrum ini menyatakan pula bahwa adalah keliru pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak terdakwa untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut mengingat untuk memperoleh jabatan tersebut, tergantung kepada publik sehingga harus dikembalikan kepada penilaian publik atau masyarakat itu sendiri.

Meski hukuman itu dinilai Anas telah menodai keadilan, Anas mendoakan semoga majelis yang menjatuhkan vonis terhadapnya -- Hakim Agung‎ Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap-- makin tenar, mantap, dan kece.

"Semoga Pak Artidjo Alkostar makin tenar, Pak MS Lumme makin kece, Pak Krisna Harahap makin mantap. Tenar, kece, dan mantap di atas 'kuburan' keadilan," tutur Anas, Selasa (9/6/2015).

Pengacara Anas, Firman Wijaya menyatakan ingin mempelajari vonis itu terlebih dahulu. Dia berharap majelis hakim tidak memakai dasar emosi saat menjatuhkan vonis itu. "Kita belum pelajari putusan kasasi apa dasarnya. Saya berharap ada dasar yuridis ketimbang emosional," ujar dia saat dihubungi.

Menurut Firman, tidak seharusnya hakim mengganjar seseorang berdasar emosional. Sebab dalam memutus hakim harus memperhatikan dua hal. "Jadi menurut saya harus ada dasar yuridis bukan dasar emosional. Hakim itu kan speaker of law dan speaker of justice," jelas dia.

Tetapi, Firman menegaskan, belum menentukan langkah selanjutnya untuk 'menyelamatkan' Anas. "Kita pelajari dulu. Tapi intinya saya akan mempertanyakan putusan itu," tegas dia.

‎Firman menyebut ada arogansi yudisial dalam putusan MA yang memperberat hukuman kliennya 2 kali lipat. Pihaknya pun akan mendiskusikannya lebih dulu dengan Anas, seraya menunggu salinan putusan dari MA.

"Tentu juga kita akan menunggu salinan putusan. Tetapi secara tegas saya katakan, itu vonis brutality dan tidak ada keseimbangan keadilan menurut saya," kata Firman.

Langkah hukum yang akan diambil, menurut Firman, pihaknya akan memberikan catatan atau eksaminasi. Juga melakukan upaya 'perlawanan' dengan mengajukan peninjauan kembali (PK).

Putusan Hakim Agung Artidjo Alkostar cs itu dianggapnya telah melampaui kewenangan MA memutus perkara yang hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara atau judex juris.

Politisi Angkat Bicara

Vonis tersebut menuai respons para politisi rekan-rekan Anas Urbaningrum. Mereka yang angkat bicara salah satunya adalah anggota Komisi III DPR Akbar Faisal, ia mengaku terkejut dan menilai putusan Majelis Hakim MA yang diketuai Artidjo Alkostar itu ekstrem.

"Cuman kok terlalu ekstrem itu ya. Ini sepertinya terlalu jauh, dari 7 tahun menjadi 14 ini kan dua kali lipat," ujar Akbar di Gedung DPR Jakarta.

Akbar pun meminta putusan hakim MA itu dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, hakim itu adalah perwakilan Tuhan yang ada di permukaan bumi. Dengan fungsinya untuk mengadili dan memutuskan yang sejujur-jujurnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan juga mengaku kaget dengan sanksi yang diperberat itu. Menurut dia, kurungan 7 tahun sudah cukup lama.

Saat ditanya apakah keputusan Majelis Hakim Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap tersebut sudah tepat, Ketua DPP PDIP itu enggan menyikapinya. Menurut dia, keputusan sudah berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang ada.

Anas Urbaningrum diseret ke meja hijau terkait kasus dugaan penerimaan gratifikasi terkait proyek Hambalang, kasus pencucian uang, serta proyek lain, Jakarta, (24/9/14). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)
Di kesempatan berbeda, loyalis Anas, Gede Pasek Suardika mengecam putusan kasasi itu. Dia pun menyebut putusan tersebut dengan sebutan sadisme hukum. "Hukuman Anas sadis. Ini namanya sadisme hukum," kata Pasek.

Anggota DPD itu menjelaskan, dalam mengambil putusan majelis hakim harusnya mempertimbangkan rasa keadilan. "Ini membunuh, memutilasi, bukan membuat orang kapok," tutur Pasek.

Masih kata Pasek, dengan hukuman 14 tahun penjara, Anas tidak akan lagi bisa berkomunikasi secara wajar dengan keempat anaknya. "Empat anaknya pasti tumbuh kembangnya akan terganggu," tutur dia menambahkan bahwa sebenarnya tak perlu lagi mencabut hak politik Anas.

Kuasa hukum Anas, Adnan Buyung Nasution kecewa dengan putusan tersebut. Dia mengatakan hukum sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya dan tidak mengikuti kontekstual yang ada.

Loyalis Anas lainnya, juru bicara ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia, Tridiyanto turut kecewa dan sedih atas putusan tersebut. Menurut dia, seharusnya MA bisa melihat dan meneliti berkas-berkas kasus Anas dengan seksama. Dia juga menuding MA mendengar opini-opini yang selama ini terdengar dan bukan mengedepankan fakta.

Anas Urbaningrum saat menjabat anggota Komisi X DPR RI dan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR oleh Majelis Hakim dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan, melakukan perbuatan korupsi dan melakukan tindak pidana pencucian uang sehubungan dengan proyek P3SON Hambalang.

Di dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan terdakwa yang menyatakan bahwa tindak pidana asal (predicate crime) dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus dibuktikan terlebih dulu. (Tnt/Ans)