Liputan6.com, Jakarta - Dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar per anggota DPR dikhawatirkan tidak bertujuan untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat, melainkan dipakai sebagai insentif finansial bagi masyarakat di daerah pemilihan (Dapil) masing-masing anggota Dewan.
"Mereka sudah terbiasa untuk memberikan semacam insentif finansial pada pemilih waktu kampanye, sehingga ketika mereka menjabat jadi anggota DPR, mereka terbiasa dengan hal seperti itu," kata Direktur Populi Center Nico Harjanto di Jakarta, Sabtu (14/6/2015).
"Dana aspirasi ini harus dilihat dalam konteks, anggota DPR membutuhkan dana-dana besar untuk mempertahankan dukungan politik pada konstituennya. Mereka seperti sinterklas yang mau bagi dana-dana seperti Bansos oleh pemerintah. Tujuan utamanya saya kira bukan untuk serap aspirasi," tambah dia.
Nico menjelaskan, untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat tidak memerlukan dana aspirasi. Masih ada cara konservatif dengan memperjuangkan anggaran di DPR.
Ia merinci, anggota dewan bisa menyerap aspirasi dengan mengambil intisari dari Badan Perwakilan Desa (BPD), DPRD kabupaten/kota, dan DPRD provinsi. "Itu semua cukup direkap dan cukup diperjuangkan di pembahasan budgeting atau anggaran di DPR," ujar dia.
Bila diberlakukan dana aspirasi, maka anggota Dewan telah melebihi kewenangan di bidang legislatif.
"Kalau mereka merasa perlu bawa proyek ke daerah, saya kira itu justru melanggar tugas legislatif. Tugas legislatif itu sebagai wakil rakyat untuk fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan pembangunan. Mereka tidak perlu seperti eksekutif atau jadi sinterklas yang bagi-bagi dana Bansos. Itu bukan tugas mereka," tandas Nico. (Ado/Nda)
Pengamat: DPR Jangan Hamburkan Dana Aspirasi bak Dana Bansos
Bila diberlakukan dana aspirasi, maka anggota Dewan telah melebihi kewenangan di bidang legislatif.
Advertisement