Liputan6.com, Jakarta - Australia diduga membayar kapten dan kru kapal pengangkut imigran asal Banglades, Sri Lanka, dan Myanmar, agar membawa kembali kapal tersebut ke wilayah RI. Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menilai tindakan Australia menyalahi etika.
"Namanya kan menyogok kan artinya kan? Orang saja menyogok salah, apalagi negara menyogok. Tentu tidak sesuai dengan etika-etika yang benar dalam hubungan bernegara," ujar JK, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (16/6/2015).
Meski demikian, pemerintah RI belum menentukan sikap resmi atas tindakan Australia. Menurut JK, pemerintah masih mendalami kebenaran kabar penyogokan oleh oknum petugas negeri Kanguru itu.
"Belum, belum. Itu kan baru di berita. Harus kita tahu benarnya ya kan? Mereka kan membantah," tutur dia.
Atas kejadian ini, JK mengimbau agar prajurit TNI AL bersiaga dan mengamankan perbatasan. Ini menjadi tugas berat aparat, karena RI dan Australia dipisahkan Samudera Hindia.
"Jangan lupa Australia-Indonesia luas sekali, dia punya perbatasan. Luas sekali Samudera Hindia itu. Tapi tentu pasti dijaga itu (oleh TNI AL)," tandas JK.
Konvensi Pengungsi 1951
Terkait masalah imigran tersebut, JK meminta agar Australia mematuhi Konvensi Perlindungan Pengungsi 1951.
"Dalam skala pengungsi, PBB kan punya aturan tentang pengungsi dan itu Australia termasuk yang tanda tangan di konvensi itu. Indonesia malah tidak," tegas JK.
Menurut JK, meski pemerintah RI tidak ikut penandatanganan konvensi tersebut, tapi tidak pernah menolak para pencari suaka. Perbuatan yang dilakukan oknum petugas Australia itu dicap sebagai bentuk human trafficking atau perdagangan manusia.
"Iya bisa menjadi human trafficking, artinya kan karena artinya dia menolak pencari suaka," tandas JK.
Pemerintah RI tidak masuk dalam 145 negara yang menjadi negara penandatanganan Konvensi 1951.
Direktur Kemanan Internasional dan Pelucutan Senjata dari Kementerian Luar Negeri RI Andi Rahmiyanto mengatakan, Pemerintah RI masih mempertimbangkan beberapa aspek. Salah satu aspek itu adalah jumlah penduduk 250 juta jiwa, dan sekitar 14% masih berada di bawah garis kemiskinan.
Kendati, Pemerintah RI telah memberikan bantuan bagi 1.700 imigran dari etnis Rohingya dan Bangladesh yang terdampar di perairan Aceh.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi sebelumnya mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kapolri untuk mengatasi dugaan penolakan imigran ini. Ia juga sudah bertemu Duta Besar Australia untuk RI Paul Grigson, Sabtu pekan lalu, menanyakan langsung persoalan itu.
Seperti dilansir dari BBC, sebuah kapal yang mengangkut imigran dengan tujuan Selandia Baru ditahan petugas keamanan RI, di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Kapten dan kru kapal mengaku ditawari uang 5.000 dollar Australia atau Rp 51,6 juta jika mau kembali berlayar ke perairan RI.
Sementara Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengatakan, pemerintahannya siap menempuh upaya apa pun untuk menghentikan penyelundup manusia yang membawa pencari suaka masuk ke negaranya.
"Sangat penting bagi publik Australia mengetahui pemerintah mereka tak akan berubah sedikit pun. Juga sangat penting bagi rakyat Indonesia mengetahui Pemerintah Australia sangat tegas untuk memastikan orang-orang jahat ini (penyelundup) tidak melakukan kegiatan mereka lagi," ujar Abbott baru-baru ini. (Rmn/Mut)
JK: Dugaan Australia Suap Kapal Imigran Harus Dicari Kebenarannya
Terkait masalah imigran tersebut, JK meminta agar Australia mematuhi Konvensi Perlindungan Pengungsi 1951.
Advertisement