Liputan6.com, Jakarta - Rencana Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed untuk menaikan suku bunga acuan pada semester II 2015 memicu penguatan nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah mata uang lainnya. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengakui, penguatan mata uang Negeri Paman Sam tersebut menjadi kekhawatiran sendiri bagi BI.
Agus menjelaskan, penguatan dolar AS bisa menimbulkan perang mata uang (currency war) antara satu negara dengan negara lain. Peluang perang suku bunga akan lebih besar jika kenaikan suku bunga The Fed dilakukan secara bertahap.
"Justru yang saya lihat, tiga tahun ke depan akan terus ada currency war karena kalau program peningkatan bunga berjalan berkala akan berdampak ke mata uang negara lain. Mata uang negara lain antara satu dengan lain akan menjaga posisi kompetitif mata uangnya, tentu perlu kami antisapasi," kata dia.
Lebih lanjut, Agus bilang setiap negara akan berlomba-lomba membuat nilai tukarnya lebih kompetitif sehingga bisa meningkatkan ekspor dan diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. "Jadi, ada negara yang menawarkan 1 persen, padahal di negara lain bisa 2 persen hingga 3 persen. Dinamika tersebut yang perlu kita hadapi," paparnya.
Advertisement
Melihat kondisi tersebut, Agus menuturkan langkah utama untuk menghadapi perang mata uang adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. "Justru saya katakan yang kita jaga stabilitas nilai rupiah. Namun kalau ada tekanan eksternal ya kita harus jaga adalah volatilitas sehingga dapat diterima dan tetap menjaga kepercayaan pasar," tandas dia.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menjelaskan, perang mata uang saat ini sedikit berbeda dengan perang mata uang yang terjadi beberapa waktu lalu. Ia melihat, pada perang mata uang sebelumnya, negara-negara besar berlomba-lomba menurunkan nilai tukarnya untuk mendorong ekspor.
Beberapa langkah yang dilakukan adalah dengan menggelontorkan dana segar yang cukup besar ke pasar. “Mencetak uang dan kemudian membeli obligasi merupakan salah satu caranya,” jelasnya kepada Liputan6.com.
Beberapa negara yang ikut serta dalam perang mata uang tersebut adalah Amerika, Jepang, China dan juga Eropa. Dengan pelemahan mata uang ini diharapkan bisa mendorong ekspor sehingga meningkatkan pertumbuhan dalam negeri dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Menurut Enny, perang mata uang saat ini sedikit berbeda. Perang mata uang saat ini lebih banyak kepada mempertahankan pangsa pasar produk ekspor. Ia mencontohkan, Amerika saat ini tidak segera atau terlihat menunda-nunda kenaikan suku bunga acuan karena memang mencoba untuk memegang komitmen dari beberapa negara yang menjadi pasar produk mereka.
Namun sayangnya, Indonesia tidak bisa memanfaatkan perang mata uang ini karena produk ekspor Indonesia belum siap. Enny menjelaskan, pelemahan rupiah ini seharusnya menjadi peluang bagi Indonesia untuk memasarkan ekspornya. “Namun daya saing ekspor Indonesia belum bisa naik karena bahan baku dari produk Indonesia ternyata dari impor,” jelasnya.
Selanjutnya: Siapakah Pemenangnya?...
Siapakah Pemenangnya?
Siapakah Pemenangnya?
Laju mata uang yang terdevaluasi diperkriakan akan memasuki babak baru mengingat para analis tengah mengamati bagaimana The Fed akan menangani dolar yang menguat sangat jauh dibandingkan sejumlah mata uang lain di kancah global.
Menurut analis Societe Generale Albert Edwards, letupan babak baru dari perang mata uang ini adalah yen Jepang yang jatuh ke level terendah terhadap dolar sejak 2002 pada Selasa pekan lalu.
Melansir laman CNBC, Senin (15/6/2015), perang mata uang, adalah kondisi di mana negara-negara memanipulasi nilai tukar mata uang guna memperoleh keuntungan secara global.
Edwards memprediksi, aksi quantitative easing Bank Sentral Jepang dapat membuat yen semakin melemah dan menentukan babak lain dalam perang mata uang global.
Dia mengatakan, kondisi ini dapat menyebabkan efek merugikan berskala besar pada negara-negara besar di seluruh dunia. "Mengingat yen melemahkan mata uang lain di Asia dan yuan China terdorong untuk berpartisipasi dalam devaluasi kompetitif, ketakutan terhadap deflasi pasti akan cepat berdampak di Barat," kata Edward dalam penelitian terbarunya.
Memanipulasi level mata uang dapat menjadi sebuah cara di mana bank sentral suatu negara dapat melakukan aksi intervensi terhadap fluktuasi mata uang dengan mengubah suku bunga dan menarik dana stimulus. Bank-bank sentral seringkali mengatakan, nilai tukar bukan tujuan utama pengambilan kebijakan dan lebih layak dipandang sebagai produk positif dari quantitative easing.
Terdapat sejumlah diskusi dalam beberapa tahun terakhir di mana sejumlahh negara-negara sengaja melemahkan mata uangnya sendiri. Kekhawatiran inilah yang disebut sebagai `perang mata uang` oleh Menteri Keuangan Brasil Guido Mantega pada September 2010. (Ein)
Advertisement