Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3 kali gigit jari dalam sidang praperadilan. Komisi anti-rasuah itu digugat dalam praperadilan 3 tersangka kasus dugaan korupsi, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Ilham Arief Sirajuddin, dan Hadi Poernomo. KPK harus merelakan status tersangka lepas dari ketiganya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, menilai banyak permasalahan yang melingkupi praperadilan. Misalnya saja soal kewenangan praperadilan yang sedikit, pasif dan bersifat post factum, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Selain lemahnya kewenangan, lembaga praperadilan diatur secara singkat tanpa dilengkapi dengan prosedur atau tata cara bersidang yang memadai," kata Supriyadi dalam diskusi di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (17/6/2015).
Hal itu, kata dia, mengakibatkan prosedur praperadilan cenderung menggunakan prinsip dan asas hukum acara perdata. Padahal, praperadilan merupakan ranah hukum acara pidana.
Pengaruh dari penggunaan prinsip dan asas hukum acara perdata tak bisa dipungkiri memperlemah lembaga praperadilan yang secara desain sudah lemah. Supriyadi juga memaparkan masalah lain yang melingkupi lembaga praperadilan, yakni kurangnya sumber daya dalam penanganan perkara praperadilan. Pengadilan tidak memiliki hakim yang ditempatkan secara khusus untuk menangani perkara praperadilan.
"Di luar itu, isu lainnya adalah tidak adanya pelatihan memadai mengenai hukum acara praperadilan bagi para hakim," ujar Supriyadi.
Menurut dia, kacau balaunya lembaga praperadilan itu tentu merupakan tanggung jawab Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tertinggi peradilan di Indonesia. Sama halnya dengan kekalahan 3 kali yang dialami KPK dalam praperadilan. Kekalahan KPK ini tak lepas dari ketidakjelasan desain hukum acara yang digunakan praperadilan.
Oleh karena itu, Supriyadi melihat MA perlu mengoptimalisasi fungsi praperadilan. MA sangat penting untuk melakukan standarisasi hukum acara dalam praperadilan. Standarisasi itu sslah satunya bisa dilakukan dengan Peraturan MA (Perma).
"Standarisasi diperlukan guna memastikan konsistensi dalam hukum acara praperadilan. Standarisasi dapat dilakukan dengan mengeluarkan Perma, yang secara khusus mengatur mengenai prosedur dan tata cara praperadilan," ujar Supriyadi. (Bob/Mut)
KPK Kalah Praperadilan 3 Kali, Salah MA?
Kekalahan KPK ini tak lepas dari ketidakjelasan desain hukum acara yang digunakan praperadilan.
Advertisement