Sukses

MK Tolak Uji Materi Batas Usia Perkawinan bagi Perempuan

Untuk mencegah perkawinan anak yang banyak menimbulkan masalah, menurut MK tidak hanya dengan batasan usia semata.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 7 (ayat 1 dan 2). Dalam putusannya, MK menolak permohonan uji materi mengenai batas usia perkawinan bagi perempuan.

Dalam permohonannya, pemohon uji materi yang diajukan oleh sejumlah elemen yang tergabung dalam Koalisi 18, meminta batas usia menikah untuk perempuan minimal 18 tahun.

"Mahkamah menilai dalil pemohon tidak beralasan, dan menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar hakim konstitusi Arief Hidayat dalam sidang putusan di Gedung MK, Kamis (18/6/2015).

‎Selain itu, hakim menimbang bahwa kebutuhan batas usia khususnya bagi perempuan disesuaikan dengan banyak aspek, seperti kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi.

"Bahkan tidak ada jaminan untuk ditingkatkan batas usia kawin untuk perempuan dari 15 menjadi 18 tahun akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun persoalan sosial lainnya," lanjut Arief.

Untuk mencegah perkawinan anak yang banyak menimbulkan masalah, menurut MK tidak hanya dengan batasan usia semata. Tidak tertutup kemungkinan, jika didasarkan pada berbagai perkembangan aspek sosial ekonomi, budaya, dan teknologi, usia 18 tahun bisa dianggap lebih rendah atau malah lebih tinggi.

Diskriminasi Usia Perkawinan

Uji materi Pasal 7 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini diajukan oleh Koalisi 18 yang terdiri dari Indri Oktaviani, FR Yohana Tantiana W, Dini Anitasari, Sa’baniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).

Adapun ayat 1 pasal tersebut berbunyi "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."

Sementara ayat 2 berbunyi "Dalam hal penyimpangan dalam ayat 1, pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orangtua pihak pria atau pihak wanita."

Pemohon berpendapat, aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan sehingga mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang. Mereka mengacu pada Pasal 28B dan Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

Masalah lain, aturan itu dinilai mengancam kesehatan reproduksi dan menimbulkan masalah terkait pendidikan anak. Selain itu, menurut pemohon, adanya pembedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan telah menimbulkan diskriminasi. (Ado/Mvi)