Sukses

Ical dan Ketua DPR 'Sehati' soal Revisi UU KPK

Ical mengatakan, KPK perlu adanya Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dan aturan mengenai penyadapan.

Liputan6.com, Jakarta - DPR berencana merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang terakhir dibahas pada tahun 2012. Rencana ini selalu menuai pro dan kontra. Draf revisi UU KPK yang diajukan Komisi Hukum DPR saat itu dinilai melemahkan fungsi lembaga antirasuah.

Terkait hal tersebut, Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Riau dan Bali, Aburizal Bakrie atau Ical mengatakan KPK perlu adanya Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dan aturan mengenai penyadapan.

"DPR sudah mengajukan. Pemerintah sudah berikan respons yang baik. Ini kan semuanya memberikan yang terbaik untuk Indonesia. Kan kalau seumpamanya, KPK enggak ada SP3-nya, seorang belum bisa dikatakan bersalah jika belum diputuskan bersalah, terus enggak ada SP3 (kalau dinyatakan tidak bersalah) gimana? ucap Ical usai buka bersama Koalisi Merah Putih (KMP) di Hotel Shangri-La, Jakarta, Minggu (21/6/2015) malam.

Ical menjelaskan, penyadapan juga tidak boleh asal-asalan. "Misalnya, kamu lagi pacaran, enggak mau disadap kan?"

Ia pun menepis anggapan soal revisi UU KPK adalah pelemahan lembaga antirasuah itu. Ical mencontohkan bagaimana orang berkuasa itu harus ada batasannya.

"Saya kira ini sebagai penguatan KPK dengan cara bagaimana ia lebih baik. Tidak boleh orang berkuasa enggak punya batas. Pasti harus ada batasnya," tutur Ical.

Revisi UU Menguatkan

Senada dengan Ical, Ketua DPR Setya Novanto juga membenarkan bahwa revisi UU KPK intinya untuk menguatkan lembaga tersebut. Dengan adanya revisi UU tersebut, maka supremasi hukum bisa ditegakkan.

"Ini tidak ada untuk melemahkan KPK. Justru bagaimana efisiensi dan lembaga ini bisa baik berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan. Jadi semua bisa berjalan baik dan seksama. Sehingga semua berjalan sesuai kaidahnya," tutur Setya.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali itu pun meminta semua pihak tidak perlu khawatir. "Tidak perlu khawatir, karena kita menginginkan bisa lebih efisiensi dan lebih baik."

Adapun UU KPK yang ada saat ini memberi kewenangan luas kepada lembaga tersebut dalam melakukan upaya penyadapan tanpa perlu meminta izin pengadilan dan tidak menunggu bukti permulaan yang cukup.

Namun dalam draf itu, KPK diwajibkan meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri sebelum melakukan penyadapan dan harus mengantongi bukti permulaan yang cukup. Hanya dalam keadaan mendesak saja penyadapan dapat dilakukan tanpa meminta izin tertulis ketua pengadilan negeri.

Draf revisi UU KPK itu mendapat penolakan dengan sejumlah argumentasi. Di antaranya permintaan izin dapat menyebabkan kebocoran informasi, menimbulkan konflik kepentingan jika penyadapan terkait pemberi izin, dan memperpanjang birokrasi yang justru menyulitkan proses penyelidikan dan penyidikan di KPK. (Ans/Dan)