Sukses

Sejarah Berdirinya 5 Monumen di Jakarta

Umumnya, sejarah pembangunan monumen-monumen di Jakarta untuk mengingatkan sejarah perjuangan pejuang masa lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Tepat hari ini, Jakarta memasuki usia ke-488. Sepintas jika menyebut Kota Jakarta, banyak citra kurang baik yang muncul di benak masyarakat. Seperti masalah kemacetan, banjir, kota super padat, hingga masalah kesenjangan antara kehidupan si kaya dan miskin. 

Terlepas dari permasalahan Ibukota, banyak nilai-nilai sejarah yang mungkin dapat mengingatkan kita pada perjuangan masa lalu. Perjuangan membangun negeri ini ditandai dengan berbagai pembangunan monumen bersejarah di Jakarta. Berikut asal-usul atau sejarah berdirinya beberapa monumen di Ibukota:

1. Monumen Nasional (Monas)

Menyusul pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda pada 1949, atau setelah pusat pemerintahan RI kembali ke Jakarta dari Yogyakarta pada 1950, Presiden Sukarno mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara dengan Menara Eiffel di lapangan depan Istana Merdeka.

Pada 17 Agustus 1954, Bung Karno pun membentuk sebuah komite nasional. Setahun kemudian, sayembara perancangan monumen nasional pun terbentuk.

Keinginan pembangunan ini tak lain untuk mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945. Sehingga diharapkan dapat terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang.

Dari 51 karya yang masuk, hanya 1 karya yang dibuat oleh Frederich Silaban, yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite. Antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad.

Sayembara kedua digelar pada 1960, tapi sekali lagi tak satu pun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban menunjukkan rancangannya kepada Sukarno. Tetapi Bung Karno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu berbentuk lingga dan yoni.

Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa. Sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung anggaran negara.

Terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban pun menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi membaik.

Sukarno kemudian meminta arsitek RM Soedarsono melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka 17, 8, dan 45 yang melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan RI, ke dalam rancangan monumen itu.

Tugu Peringatan Nasional yang kini menjadi Monumen Nasional atau populer disingkat dengan Tugu Monas, kemudian dibangun di areal seluas 80 hektare. Tugu ini dirancang Friedrich Silaban dan RM Soedarsono, mulai dibangun 17 Agustus 1961 setinggi 132 meter atau 433 kaki.

Tugu Monas dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas, yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala.

Tugu Monas terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat atau di depan Istana Merdeka. Kini monumen dan museum ini dibuka setiap hari mulai pukul 08.00 - 15.00 WIB. Pada Senin pekan terakhir setiap bulannya ditutup untuk umum.

2 dari 5 halaman

2. Monumen Dirgantara

2. Monumen Dirgantara (Patung Pancoran)

Patung Pancoran akan mulai dibersihkan pada esok hari menggunakan ekstrak jeruk Nipis.

Patung Dirgantara atau yang lebih dikenal masyarakat Ibukota sebagai Tugu Pancoran ini, merupakan salah satu monumen bersejarah yang berlokasi di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Tepatnya di depan kompleks perkantoran Wisma Aldiron Dirgantara yang dulunya merupakan Markas Besar TNI Angkatan Udara.  

Monumen ini dirancang Edhi Sunarso sekitar 1964-1965 dengan bantuan dari Keluarga Arca Yogyakarta. Sedangkan proses pengecorannya dilaksanakan Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono.

Berat patung yang terbuat dari perunggu ini mencapai 11 ton, dengan tinggi 11 meter, dan kaki patung mencapai 27 meter. Proses pembangunan monumen yang menghadap barat ini, dilakukan PN Hutama Karya bersama IR Sutami sebagai arsitek pelaksana.

Rancangan patung ini berdasarkan permintaan Bung Karno, untuk menampilkan keperkasaan RI di bidang kedirgantaraan. Penekanan dari desain patung ini yakni untuk mencapai keperkasaan, bangsa yang mengandalkan sifat kejujuran, berani dan bersemangat.

Monumen ini dibuat pada akhir kepemimpinan Presiden Sukarno. Pengerjaan Tugu Pancoran ini sempat mengalami keterlambatan, karena peristiwa Gerakan 30 September 1965. Biaya awal disebut-sebut sempat ditanggung Edhi Sunarso, sang pemahat. Bahkan, Bung Karno sampai menjual mobil pribadinya Rp1 juta pada waktu itu.

Total biaya pembuatan Patung Dirgantara pada 1964 mencapai Rp12 juta. Pemerintah sendiri hanya membayar Rp5 juta. Sisanya, Rp6 juta menjadi utang pemerintah yang sampai saat ini diduga belum terbayar.

3 dari 5 halaman

3. Monumen Selamat Datang

3. Monumen Selamat Datang (Bundaran HI)

Suasana Bundaran HI Jakarta saat pengalihan arus lalu lintas terkait pertemuan para Kepala Negara pada KAA ke-60 di JCC, Rabu (22/4/2015). Pengalihan arus dilakukan pada 06.30-09.30 WIB, 17.00-18.30 WIB dan 19.00-22.00 WIB. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pembangunan Monumen Selamat Datang atau Patung Selamat Datang ini disebut-sebut bertujuan untuk menyambut atlet, dan tamu kehormatan berbagai negara saat Pemerintah RI menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962 dari arah Monas.

Lokasinya tepat berada di jantung Ibukota, yang mempertemukan Jalan Jenderal Sudirman dengan Jalan MH Thamrin. Letaknya persis di tengah-tengah bundaran Hotel Indonesia (HI), dengan sepasang manusia sedang menggenggam bunga dan melambaikan kedua tangannya menghadap ke arah utara, yaitu pelabuhan.

Ketika itu, para atlet dan ofisial menginap di Hotel Indonesia dan bertanding di komplek olahraga Ikada, yang sekarang lebih dikenal komplek Gelora Bung Karno, Senayan. Stadion Senayan pada saat itu adalah stadion terbesar di Asia Tenggara yang mampu menampung 120.000 penonton.

Ide pembuatan patung ini berasal dari Presiden Sukarno dan rancangan awalnya dikerjakan Henk Ngantung, yang pada saat itu merupakan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Tinggi patung perunggu ini, dari kepala sampai kaki 5 meter. Sedangkan tinggi seluruhnya dari kaki hingga tangan yang melambai sekitar 7 meter, dan tinggi kaki patung 10 meter.

Pelaksana pembuatan patung ini adalah tim pematung Keluarga Arca pimpinan Edhi Sunarso di Karangwuni, Kecamatan Wates, Kulon Progo, Yogyakarta.

Pada saat pembuatannya, Presiden Sukarno didampingi Duta Besar Amerika Serikat Howard P Jones beserta para menteri sempat berkunjung ke sanggar Edhi Sunarso. Pembuatan patung ini memakan waktu sekitar 1 tahun. Monumen Selamat Datang kemudian diresmikan Sukarno pada 1962.

4 dari 5 halaman

4. Monumen Pembebasan Irian Barat

4. Monumen Pembebasan Irian Barat (Lapangan Banteng)

Lapangan Banteng tempo dulu dan sekarang

Pada 1962 Pemerintah RI sedang berjuang membebaskan wilayah Irian Barat atau Irian Jaya yang sekarang lebih dikenal Papua. Atas dasar solidaritas, Bung karno menggerekan tekad para pemuda untuk membantu warga Irian Barat yang tengah berjuang membebaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda.

Melalui pidatonya di Yogyakarta, Bung Karno kemudian membangun monumen pembebasan Irian Barat di Jakarta, yang berlokasi di Jakarta Pusat. Tepatnya di lapangan Banteng yang tak jauh dari Gereja Katedral, Jakarta Pusat.

Ide Bung Karno diterjemahkan dalam bentuk sketsa oleh Henk Ngantung, yang tak lain Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu. Proses pembuatan monumen ini memakan waktu sekitar 1 tahun dan diresmikan pada 17 Agustus 1963.    

Patung ini menggambarkan seorang laki-laki yang gagah, yang berhasil memutus mata rantai yang ada di pergelangan tangan dan kakinya. Atau bermakna pembebesan dari belenggu penjajah.

Patung ini memiliki tinggi dari kaki ke kepala 9 meter, sedangkan tinggi keseluruhan mencapai 11 meter. Patung yang terbuat dari perunggu sekitar 8 ton ini dikerjakan oleh tim pematung dari keluarga Arca Yogyakarta.

5 dari 5 halaman

5. Monumen Pahlawan

5. Monumen Pahlawan (Tugu Tani)

Tugu Tani. (Antara Foto)

Patung pahlawan atau lebih dikenal Monumen Tugu Tani yang terbuat dari perunggu ini, berbentuk figur seorang pria bercaping dengan seorang perempuan.

Monumen ini yang terletak di dekat stasiun Gambir, Jakarta Pusat ini dibuat oleh 2 pematung kesohor asal Rusia, Matvey Manizer dan Ossip Manizer, sebagai hadiah dari pemerintah Uni Soviet atau sekarang Rusia, sebagai persahabatannya dengan Indonesia.

Sejarah pembangunan monumen ini berbeda-beda. Tetapi ada 2 versi latar belakang pembuatan patung ini. Pertama, monumen ini dibuat atas inspirasi ketika Sukarno berkunjung ke Uni Soviet pada 1922. Saat itu, Rusia terjadi pergolakan antara kaum yang pro sistem kekaisaran dengan kaum komunis.

Hal ini mengingatkan Sukarno dengan keadaan di Tanah Air. Dia pun mencari pembuat patung untuk membuatkan monumen, demi menghargai perjuangan para buruh tani dalam Gerakan 30 September 1965. Versi lain menyebutkan, asal-usul pembangunan Tugu Tani berhubungan dengan pengakuan daerah Irian Barat.

Dalam sebuah buku diceritakan, Sukarno menginginkan Tugu Tani dibuat untuk memperingati perjuangan bangsa dalam mempertahankan Irian Barat yang selama ini dikuasai Belanda hingga 1963.

Sedangkan proses pembuatan patung hingga menyerupai seorang petani dan wanita diperoleh dari perjalanan Manizer, ketika mengunjungi wilayah RI pada 1960.

Kala itu, dia mendengar cerita tentang kisah seorang ibu yang mendukung anaknya berperang demi negaranya, dan mengingatkan anaknya agar jangan pernah meninggalkan orangtuanya. Kembali ke Uni Soviet, dia bersama rekannya membuat patung tersebut sebagai kenang-kenangan. (Rmn/Mut)

Video Terkini