Sukses

Terkait Temuan BPK, Komisi II Beri Waktu 10 Hari ke KPU

Hal ini merupakan hasil kesepakatan antara Komisi II DPR dan KPU.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi II DPR memberikan waktu kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) memaparkan pertanggungjawaban atas hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama 10 hari ke depan. Hal ini merupakan hasil kesepakatan antara Komisi II DPR dan KPU.

"Pertama, terkait hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang dilakukan BPK pada KPU atas anggaran Pemilu Tahun 2013-2014, Komisi II DPR RI meminta kepada KPU dan seluruh jajarannya segera melengkapi laporan tindak lanjut setiap permasalahan yang menjadi temuan BPK," ucap Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman saat menutup rapat dengar pendapat dengan KPU di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (22/6/2015).

"Sesuai dengan rekomendasi BPK secara rinci dan dengan keterangan sebagaimana yang telah disampaikan kepada BPK dengan bukti tindaklanjut dari BPK paling lambat 10 hari," sambung dia.

Kedua, menurut Rambe, guna mendukung kredibilitas KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri serta dengan mempertimbangkan struktur KPU yang bersifat hirarkis. "Komisi II DPR RI meminta KPU untuk bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya."

Sementara itu Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, 10 hari mendatang pihaknya akan menyampaikan hasil pertanggungjawaban atas hasil temuan BPK. Hingga kini, perkembangan atas temuan tersebut masih berkisar 75%.

"Sudah 75 persen yang sudah  ditindak lanjuti. Setiap minggunya ada perkembangan kadang-kadang ada perubahan sampai dua digit kadang satu digit. Kalau sampai 10 hari itu sampai 80 persen kami akan menyampaikan 80 persen disampaikan 20% lagi di mana saja," kata Husni.

Husni mengakui, permintaan Komisi II DPR untuk mengklarifikasi temuan BPK tersebut tidak berniat untuk mengganggu kinerja KPU. "Tidak ada niatan mengganggu. Ini tugas biasa, kami menyelesaikan pertanggungjawaban Pemilu 2014 lalu dan menindaklanjuti temuan BPK."

Saat ditanya apakah ada kesan dari Komisi II DPR seperti mencari-cari kesalahan dari KPU, ia mengungkapkan, pihaknya menyambut positif atas klarifikasi temuan BPK tersebut. "Tidak ada, kesan kita baik semua positif," kata Husni.

BPK melaporkan ikhtiar hasil pemeriksaannya atas Pengelolaan Anggaran Pemilu terhadap KPU kepada Pimpinan DPR. Dasar hukum pemeriksaannya terdapat pada Pasal 8 ayat 4 huruf e Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), Kamis 18 Mei 2015.

Total seluruh temuan BPK untuk pelaksanaan Pemilu 2013 dan 2014 terhadap ketidakpatuhan KPU pada ketentuan perundang-undangan sebesar Rp 334.127.902.611.93 yang terdiri dari 7 jenis temuan ketidakpatuhan.

>> 'Cium' Aroma Kriminalisasi >>

2 dari 3 halaman

'Cium' Aroma Kriminalisasi

'Cium' Aroma Kriminalisasi

Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Ancol, Agung Laksono menilai ada sesuatu yang tidak beres atas desakan sejumlah politisi di DPR untuk menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang digelar mulai 9 Desember 2015 mendatang. Hal tersebut setelah mencermati dinamika yang terjadi di Komisi II DPR sebagai mitra kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Sepertinya ada aroma politisasi, kriminalisasi. Kalau memang ada kesalahan, kok baru sekarang dipermasalahkan? Ini seperti ada tekanan," ucap Agung usai acara buka puasa bersama anak yatim di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin (22/6/2015) malam.

Agung mengatakan, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap anggaran KPU periode 2013-2014 yang menunjukkan indikasi kerugian negara sekitar Rp 334 miliar memang harus menjadi catatan. Namun bukan berarti pelaksanaan Pilkada serentak yang tahapannya sudah berjalan harus ditunda.

"Jangan sampai momentum ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Masih banyak pekerjaan lain yang seharusnya dilakukan," ujar Agung.

Tidak lupa, Agung berpesan kepada KPU agar tidak terganggu dengan masalah ini. KPU, kata dia, sebagai lembaga negara memang harus menindaklanjuti audit yang dilakukan BPK. Namun jangan sampai mengganggu tugas utama KPU saat ini, yakni menyelenggarakan Pilkada serentak yang bersih dan jujur.

"Kami sampaikan kepada KPU kalau kalian yakin benar, maka jalan saja terus. Tidak usah dikhawatirkan," sambungnya.

Gagasan menunda pilkada pertama kali disampaikan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan setelah menerima laporan audit dari BPK terhadap KPU. Selain itu, pada rapat antara Komisi II DPR dan KPU Senin siang 22 Juni 2015, anggota Komisi II dari Golkar John Kennedy Aziz juga meminta pelaksanaan Pilkada serentak ditunda.

>> Perlu Bela Diri >>

3 dari 3 halaman

Perlu Bela Diri

Perlu Bela Diri

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah temuan yang mengindikasikan terjadinya kerugian negara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan lembaganya diberi kesempatan 'membela diri' dengan menelusuri temuan tersebut.

"KPU diberi kesempatan menelusuri. Kami telusuri di mana. Itu ada 181 satuan kerja yang diperiksa, dan bagaimana penyelesaian dalam catatan itu. Tidak langsung kemudian ada pernyataan tidak bisa dipertanggungjawabkan, final, kemudian langsung penegakan hukum. Tidak begitu," kata Husni, usai buka bersama di rumah dinas Ketua MPR Zulkifli Hasan, di Jakarta, Senin (22/6/2015) malam.

Husni mengatakan pihaknya terus melakukan penelusuran sejak temuan BPK itu diberikan pada Januari lalu. KPU akan melengkapi Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT).

"Ini terus dilakukan sejak kami terima Januari. PDTT itu kan lima tahun sekali," jelas dia.

BPK sebelumnya melaporkan ikhtiar hasil pemeriksaannya atas Pengelolaan Anggaran Pemilu terhadap KPU kepada Pimpinan DPR. Dasar hukum pemeriksaannya terdapat pada Pasal 8 ayat 4 huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), Kamis 18 Mei 2015.

BPK menemukan sejumlah ketidakpatutan pada pelaksanaan Pemilu 2013 dan 2014 sebesar Rp 334.127.902.611.93. Sebanyak 7 jenis ketidakpatuhan pada ketentuan perundang-undangan itu yakni indikasi kerugian negara Rp 34 miliar, potensi kerugian negara Rp 2,2 miliar, kekurangan penerimaan Rp 7,3 miliar, pemborosan Rp 9,7 miliar, yang tidak diyakini kewajarannya Rp 93 miliar, lebih pungut pajak Rp 1,35 miliar, dan temuan administrasi Rp 185,9 miliar.

(Ans/Rjp)