Sukses

Anggota Fraksi Golkar DPR Ini Tetap Tolak Dana Aspirasi

Seharusnya, untuk berdemokrasi yang baik, harus ada musyawarah ataupun voting dengan adanya perbedaan kemarin.

Liputan6.com, Jakarta - Pada rapat paripurna DPR, Selasa 23 Juni 2015, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengesahkan mekanisme dana aspirasi. Walaupun, dalam rapat tersebut masih ada interupsi untuk menolak, tetap saja palu diketuk politikus PKS itu.

Anggota Fraksi Partai Golkar DPR Agun Gunanjar, terus bersuara lantang enggan menerima hasil persetujuan paripurna tersebut. Dia mengatakan akan menolak untuk mengisi dan menandatangani formulir isian pengajuan program pembangunan daerah pemilihan atau yang lebih dikenal sebagai dana aspirasi.

"Konsisten dengan apa yang saya sampaikan di sidang paripurna pengesahan, saya tetap menolak. Karena keputusannya dipaksakan dan tidak menggunakan pemungutan suara (voting)," ujar Agun melalui pesan singkat, Rabu (24/6/2015).

Menurut dia, jangan karena penolakan datang dari minoritas, lantas tidak dilakukan voting kepada mayoritas. Seharusnya, untuk berdemokrasi yang baik, harus ada musyawarah ataupun voting dengan adanya perbedaan kemarin.

"Jangankan 3 fraksi, satu anggota saja tidak setuju, maka harus dilakukan voting. Karena tidak didapatkan aklamasi, tidak menempuh terlebih dahulu musyawarah untuk capai mufakat. Hal inilah tidak bisa dibiarkan terus-menerus (menggunakan) cara pengambilan keputusan seperti ini," tandas Agun.

Ketua DPP Golkar versi Munas Jakarta itu pun menilai dengan adanya dana aspirasi, akan menimbulkan ketidakadilan bagi daerah-daerah yang luas wilayahnya dan tersebar di lautan, namun penduduknya kecil seperti Maluku, Kepri, dibandingkan dengan Jawa. Selain itu, ini bisa alat pencitraan dan rawan korupsi.

"Program ini akan menjadi alat pencitraan, yang merugikan bagi caleg-caleg baru dan partai-partai yang kursinya kecil. Program ini juga akan menjadi 'kongkalikong' yang rawan korupsi," jelas Agun.

Pria asal Jawa Barat itupun menuturkan, dengan adanya dana aspirasi, maka internal partai akan semakin menguatkan posisi tawar elite partai yang akan semakin bersifat oligarki.

"Dan pada akhirnya, DPR tidak lagi perwakilan rakyat, tapi perwakilan partai, utamanya kepanjangan elite penguasa parpol di mana demokrasi semakin prosedural dan tidak substansial. (Demokrasi) Pun tidak akan lagi berpihak kepada rakyat," pungkas anggota DPR RI Dapil Jabar 10 itu. (Bob/Ans)