Sukses

LSM: Tanpa Alasan Jelas, Mundurnya Kepala Daerah Patut Dicurigai

Lima Dia menyarankan, harusnya Surat Edaran KPU untuk pengetatan dan bukannya memberikan kelonggaran kepada petahana atau incumbent.

Liputan6.com, Jakarta - Terbitnya Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum (SEKPU) Nomor 302/KPU/VI/2015 dipandang menjadi pintu gerbang praktik dinasti politik dalam penyelenggaraan pilkada serentak yang akan digelar Desember 2015.

Sejak adanya ketentuan tersebut, sudah ada 4 kepala daerah yang sudah mengajukan pengunduran diri, di antaranya Walikota Pekalongan, Bupati Ogan Ilir, Bupati Kutai Timur, dan Wakil Walikota Sibolga.

Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan para kepala daerah yang mencoba mundur harus bisa membuktikan dulu kalau langkah itu bukan untuk melapangkan jalan bagi keluarganya yang akan mencalonkan pada Pilkada serentak 2015.

"Terkait adanya Surat Edaran KPU itu, para kepala daerah seharusnya bisa menjelaskan motifnya. Kalau memang dia tidak ada kepentingan kenapa tidak berani menunggu saja. Itu kan sama saja, ada maksud kalau tidak berani menjelaskan," tutur Ray di Media Center KPU, Jakarta, Rabu (24/6/2015).

Dia pun menyarankan harusnya Surat Edaran tersebut untuk pengetatan dan bukannya memberikan kelonggaran kepada petahana atau incumbent.

"Surat Edaran ini harusnya memberikan pengetatan. Kan seperti tadi saya bilang, kalau motifnya tidak sesuai, maka ada langkah politik lain yang jelas akan melanggar UU Nomor 8 Tahun 2015 terkait Pilkada. Jangan sampai adanya konflik kepentingan," jelas Ray.

Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow menegaskan Surat Edaran itu harus dicabut dan kemudian diganti yang baru yang isinya memberikan ketegasan terhadap petahana, bukan memberikan kelongaran.

"Seharusnya, KPU mencabut surat itu dan menerbitkan Surat Edaran baru yang berisi definisi baru mengenai petahana," tutur Jeirry.

Terkait sikap KPU yang menyerahkan pengunduran diri kepala daerah kepada Menteri Dalam Negeri, Jeirry pun merasa pesimis.

"Dengan memberi ruang Mendagri untuk bermain, bisa saja tidak independen karena berasal dari partai. Ini bisa jadi persoalan baru nantinya. Intinya, KPU harus memberikan definisi jelas soal petahana. Misalnya, waktu belum setahun setelah menjabat, itu tidak boleh," tutur Jeirry.

Bangun Dinasti Politik

KPU melalui Surat Edaran Nomor 302/KPU/VI/2015 banyak disebut memberi peluang bagi seorang politikus membangun 'dinasti politik'. Surat Edaran tersebut memberikan penjelasan terkait Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 yang mengatur mekanisme pendaftaran calon kepala daerah.

Menurut Surat Edaran KPU itu, seorang kepala daerah yang mundur dari jabatannya tak lagi disebut petahana. Walhasil keluarga kepala daerah yang baru mundur beberapa hari menjelang digelarnya pendaftaran pilkada itu bisa mencalonkan diri.

"Pihak-pihak yang dikategorikan dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (11) dapat mencalonkan diri sebagai calon gubernur, wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota atau wakil walikota," bunyi SE tersebut.

Setelah proses pengunduran dirinya disetujui, maka status petahana gugur dan keluarganya pun bisa mencalonkan diri. Sejumlah kepala daerah pun mengajukan pengunduran diri menjelang dibukanya pendaftaran calon kepala daerah pada 26 Juli 2015 nanti. (Ado/Yus)