Sukses

LBH Desak DPR Selesaikan RUU KUHP dan KUHAP

Berdasarkan 13 kasus itu, aktor utama yang melakukan penyiksaan adala aparat penegak hukum, khususnya kepolisian.

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut sepanjang 2013 sampai 2015, pihaknya telah menangani 13 kasus penyiksaan yang terjadi. Berdasarkan kasus-kasus itu, aktor utama penyiksa adalah aparat penegak hukum, khususnya kepolisian.

"Penyiksaan itu dilakukan dengan beragam bentuk. Antara lain kekerasan fisik, psikis, dan seksual," ujar pengacara publik LBH Jakarta, Revvan Tambunan dalam jumpa pers di Kantor LBH Jakarta,‎ Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (26/6/2015).

Revan mengatakkan, dari 13 kasus penyiksaan itu, sebanyak 18 orang menjadi korban kekerasan fisik. Sementara 14 orang menjadi korban kekerasan psikis, dan 8 orang korban kekerasan seksual.

‎"Bentuk kekerasan fisik ini masih menjadi pola penyiksaan yang sangat dominan," ujar dia.

Selain menimpa orang dewasa, penyiksaan juga menyasar pada anak-anak. Revan menyebut, ada 5 anak yang jadi korban penyiksaan. Salah satu kasus penyiksaan terhadap anak-anak yang ditangani LBH Jakarta adalah kasus salah tangkap pengamen di Cipulir, yakni AN dan ND.

"Di dalam BAP terdapat pengakuan tersangka (AD dan ND) telah melakukan pembunuhan‎, namun ternyata pengakuan itu diperoleh (polisi) dengan melakukan penyiksaan terhadap tersangka," kata Revan.

"Tersangka mengalami kekerasan fisik dan psikis," imbuh dia.

Karena itu, LBH Jakarta mendesak pemerintah dan DPR untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai prioritas dengan mengatur pasal-pasal antipenyiksaan. Sebab, berdasarkan data yang dimiliki LBH‎, perlindungan hukum terhadap korban penyiksaan ini belum berjalan efektif karena kebijakan untuk mencegah praktik penyiksaan tidak dijalankan maksimal.

"Masih perlu adanya perubahan kebijakan untuk maksimalkan perlindungan terhadap korban penyiksaan dan penegakan hukum terhadap pelaku penyiksaan," ujar Revan.

Selain itu, LBH juga merekomendasikan pemerintah melakukan ratifikasi Optional Protocol Anti Penyiksaan serta mengatur adanya mekanisme nasional penegakan hukum untuk mencegah dan menghapus penyiksaan. Kemudian menyediakan kebijakan mekanisme internal guna pemulihan hak-hak korban penyiksaan.

"Lalu kami merekomendasikan penindakan secara tegas terhadap aparat yang melakukan pelanggaran kode etik dan tindak pidana," tukas Revan. (Ali/Ado)