Liputan6.com, Jakarta Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung melemah selama semester I 2015. Kepercayaan pelaku pasar terhadap ekonomi Indonesia belum sesuai harapan karena pembangunan infrastruktur masih lamban sehingga menekan rupiah.
Hal itu ditambah permintaan terhadap dolar AS yang cenderung meningkat di kuartal II 2015 untuk membayar utang perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tak hanya sentimen domestik, tekanan dari luar negeri juga menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Analis PT BNI Securities, Thendra Chrisnanda mengatakan, pelaku pasar sedang menanti kepastian kapan suku bunga AS akan dinaikkan. Dengan rencana kenaikan suku bunga AS dikhawatirkan dapat mendorong aliran dana investor asing keluar dari Indonesia.
Pelemahan rupiah ini juga menjadi salah satu tekanan terhadap laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Secara year to date, IHSG minus 5,81 persen menjadi 4.923 pada penutupan perdagangan saham Jumat 26 Juni 2015.
IHSG tertekan ini didorong dari sejumlah sektor saham yang melemah. Sektor saham industri dasar dan kimia merosot 21,6 persen menjadi 426,25. Disusul sektor saham pertambangan susut 17,53 persen ke level 1.129. Tak hanya itu, sektor saham aneka industri dan manufaktur masing-masing turun 9,56 persen dan 8,23 persen secara year to date.
Â
Advertisement
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah telah melemah 6,92 persen secara year to date (Ytd)Â dari level 12.474 per dolar AS pada 2 Januari 2015 menjadi 13.338 per dolar AS pada Jumat 26 Juni 2015. Sepanjang Juni 2015, rupiah berada di kisaran 13.200 per dolar AS hingga 13.300 per dolar AS.
Tekanan nilai tukar rupiah ini dinilai dapat menekan kinerja keuangan perusahaan. Thendra mengatakan, nilai tukar rupiah melemah memang mempengaruhi sejumlah sektor industri secara langsung dan tidak langsung.
Akan tetapi, Thendra menilai, tekanan rupiah akan membebani emiten yang banyak mengimpor bahan baku seperti farmasi, makanan dan minuman. Tak hanya itu, industri pendukung seperti industri baja juga terkena imbasnya. Hal itu lantaran bahan baku produksi sebagian besar impor.
Emiten memiliki utang dolar AS tetapi penerimaan pendapatan rupiah juga terbebani dengan pelemahan rupiah. "Rata-rata emiten memiliki eksposure utang dolar AS berdampak terhadap kerugian selisih kurs," ujar Thendra, saat dihubungi Liputan6.com.
Ia mengatakan, emiten seperti properti, telekomunikasi dan barang konsumsi memiliki utang cukup besar dalam mata uang dolar. Emiten itu antara lain PT Lippo Karawaci Tbk, PT Alam Sutera Realty Tbk. Sedangkan emiten telekomunikasi yang terkena dampaknya seperti PT Indosat Tbk.
 Hal senada dikatakan, Kepala Riset PT Universal Broker Securities Satrio Utomo. Emiten memiliki utang dolar AS tetapi biaya dan kewajiban dalam bentuk dolar AS terkena dampak pelemahan rupiah antara lain emiten properti, telekomunikasi. Ditambah emiten yang bahan bakunya impor seperti farmasi.
Selanjutnya: Risiko Bahan Baku Impor...
Risiko Bahan Baku Impor
Risiko Bahan Baku Impor
Sekretaris Perusahaan PT Indofarma Tbk (INAF) Yasser Arafat mengatakan, level rupiah di kisaran 13.000 mengkhawatirkan. Secara tidak langsung, pelemahan rupiah berdampak tidak langsung terhadap bahan baku dan beban lainnya.
Meski demikian, perseroan mengantisipasi dengan melakukan kontrak pembelian bahan baku untuk beberapa bulan ke depan. Salah satu yang dikhawatirkan perseroan terhadap pelemahan rupiah yaitu dapat memicu kenaikan harga barang konsumsi sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat.
"Kalau daya beli turun, buruh pasti meminta kenaikan gaji," kata Yasser saat dihubungi Liputan6.com.
Sementara itu, Investor Relation PT Indosat Tbk, Andromeda Tristanto menuturkan, PT Indosat Tbk sudah menerapkan kebijakan risiko manajemen termasuk salah satunya risiko mata uang.
Memang rupiah berada di level Rp 13.000 sejak Maret 2015, menurut Andromeda, hal itu tidak mempengaruhi aliran kas. Akan tetapi dilihat dari laporan keuangan, pelemahan rupiah menyebabkan kenaikan jumlah utang secara akuntansi.
"Level rupiah saat ini masih bisa ditoleransi tetapi akan selalu dimonitor ketat," ujar Andromeda.
Di sisi lain, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang mengatakan, pelemahan rupiah membuat pihaknya lebih waspada. Mengingat manajemen perseroan khawatir terhadap daya beli masyarakat atas produk berbahan baku impor seperti gandum. Meski demikian, perseroan menilai kondisi sekarang masih wajar, sehingga belum ada rencana untuk menaikkan harga produk.
Terkait utang seiring nilai tukar rupiah yang melemah, Franciscus mengatakan, saat ini utang perseroan dalam dolar AS hanya bahan baku untuk 90 hari. "Tidak ada utang untuk investasi sehingga saya kira tidak begitu mengkhawatirkan," kata Franciscus.
Berdasarkan laporan keuangan, perseroan mencatatkan penjualan bersih di kisaran Rp 15,02 triliun pada kuartal I 2015. Laba usaha tumbuh 9,5 persen menjadi Rp 1,75 triliun.
Hal itu mendorong marjin laba usaha meningkat menjadi 11,6 persen dari 10,6 persen. Sedangkan laba periode berjalan yang dapat diatribusikan ke pemilik entitas induk turun 37,3 persen menjadi Rp 870,1 miliar dari Rp 1,39 triliun.
Marjin laba bersih turun menjadi 5,8 persen dari 9,2 persen terutama karena rugi selisih kurs yang belum terealisasi sebagai akibat melemahnya nilai tukar rupiah.
Salah satu emiten yang menjadi sorotan terkait pelemahan rupiah yaitu perusahaan tambang PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Hal itu mengingat utang perseroan juga cukup besar dalam mata uang dolar.
Direktur PT Bumi Resources Tbk, Dileep Srivastava menuturkan, pelemahan rupiah tidak terlalu berdampak terhadap perseroan. Hal itu lantaran pendapatan perseroan telah tercatat dalam dolar. "Selain itu, sekitar 90 persen biaya juga dalam dolar sehingga ini sudah alami hedging," kata Dileep.
Saat ditanya mengenai dampak pelemahan rupiah terhadap uang perseroan, Dileep mengklaim, utang perseroan dolar AS tidak terlalu berdampak karena pelemahan nilai tukar rupiah.
Hingga September 2014, utang perseroan mencapai US$ 3,73 miliar. Utang itu antara lain US$ 1,03 miliar berasal dari Country Forest Limited Facility yang merupakan lembaga keuangan di bawah China Invesment Corporation (CIC).
Thendra mengatakan, meski level rupiah masih di kisaran 13.000, hal perlu menjadi perhatian yaitu volatilitasnya. Bank Indonesia dan pemerintah diharapkan dapat menjaga volatilitas agar rupiah tidak tembus ke level 14.000 per dolar Amerika Serikat. (Ein)
Advertisement