Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung dinilai tidak bisa menyita aset PT Indosat Mega Media (IM2) dalam perkara kerja sama penyelenggaraan 3G antara PT Indosat dan IM2 di frekuensi 2.1 GHz. Tindakan itu harus menunggu berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan diputuskan setelah melalui Peninjauan Kembali (PK).
Pakar hukum pidana Universitas Pajajaran (Unpad) Romli Atmasasmita menilai ada dua putusan kasasi yang bertolak belakang. Pertama, putusan Mahkamah Agung Nomor 282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014 yang memutuskan mantan Dirut IM2Â Indar Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama 8 tahun, disertai denda sebesar Rp 300 juta dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun yang dibebankan kepada IM2.
"Di sisi lain, terdapat putusan kasasi Mahkamah Agung lain dengan Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014 yang isinya menolak kasasi yang diajukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara perkara IM2 yang menyatakan laporan BPKP tidak boleh digunakan," kata Romli di Jakarta, Selasa (30/6/2015).
Hal itu, lanjut dia, sejalan dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) 28 Januari 2014 yang sebelumnya juga telah menguatkan keputusan PTUN. Dengan itu, putusan MA telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Alat bukti yang digunakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam semua tingkatan sebagai dasar perhitungan unsur kerugian negara tidak memiliki kekuatan hukum lagi dan tidak dapat digunakan.
Menurut Romli, putusan kasasi MA memperkuat PTUN yang menggugurkan kewenangan BPKP harus dihormati. Kejaksaan Agung harus menjaga marwah lembaga, KUHAP, dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28.
"Dalam pasal tersebut dicantumkan negara harus menjamin bagi setiap warga negara tentang kepastian hukum yang adil di muka hukum," kata Romli.
Guru besar hukum Unpad ini meminta Kejaksaan Agung harus memperhatikan amar TUN bahwa kerugian negara menjadi tidak jelas. Dengan begitu, Kejagung harus menunggu putusan PK turun. Karena mantan Dirut PT IM2 masih memiliki langkah hukum untuk mengajukan PK.
Bila Kejaksaan Agung memaksa melakukan eksekusi dan ternyata PK untuk PT IM2 menang, maka dapat digugat secara perdata. Dengan alasan Kejaksaan Agung melakukan penyitaan secara ilegal. "Jadi akan lebih bagus bila menunda eksekusi hingga putusan PK turun," tukas Romli.
Senada dengannnya, pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI) Dian Simatupang menilai lantaran PT IM2 sedang mengajukan PK ke MA, maka putusan tentang uang pengganti Rp 1,3 triliun tidak bisa dilaksanakan. Dengan demikian Kejaksaan Agung harus menunggu proses PK tersebut.
"Kejaksaan Agung seharusnya menunggu PK, sehingga belum inkracht," kata Dian.
Penilaian tersebut mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP sehingga pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) menjadi tidak terbatas.
"Saat ini ada putusan MK tentang kasus pidana yang bisa mengajukan PK berkali-kali," ucap Dian.
Dia menambahkan, Kejaksaan Agung juga harus memperhatikan putusan kasasi MA bahwa BPKP tidak berhak mengaudit PT IM2. Karena tidak berhak, maka tuduhan merugikan negara mencapai Rp1,3 triliun menjadi tidak sah.
"Inilah yang menjadi dasar kenapa Kejaksaan Agung tidak bisa mengeksekusi uang pengganti tersebut," tukas Dian. (Ali/Ado)
Kejagung Dinilai Tak Bisa Eksekusi IM2 Sebelum Inkracht
Putusan kasasi MA memperkuat PTUN yang menggugurkan kewenangan BPKP harus dihormati.
Advertisement