Sukses

Pengacara Eks Walikota Makassar Kecewa Tak Bisa Ajukan Saksi Ahli

PN Jaksel sepanjang hari ini telah memberikan waktu kepada Ilham untuk menghadirkan semua saksi.

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) baru saja menggelar sidang praperadilan, yang diajukan mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Sidang ini digelar dengan agenda mendengarkan keterangan sejumlah saksi fakta dan saksi ahli dari pihak pemohon.

Namun pihak Ilham selaku pemohon, hanya bisa menghadirkan 2 saksi fakta. Sementara kesempatan menghadirkan saksi ahli tidak bisa didapatkan, karena waktu sidang sudah habis.

PN Jaksel sepanjang hari ini telah memberikan waktu kepada Ilham untuk menghadirkan semua saksi. Namun hingga waktu ditentukan, saksi ahli yang dijanjikan tak kunjung tiba. Sidang yang dipimpin hakim tunggal Amat Khusairi itu pun ditutup tanpa kehadiran saksi ahli dari Ilham.

Pengacara Ilham Arief, Johnson Panjaitan mengaku kecewa karena kesempatan yang diberikan hakim Amat. Apalagi banyak waktu terpangkas dalam praperadilan siang tadi.

"Hari ini saya agak menyesak sekali. Karena kita kan dijanjikan mulai sidang pukul 09.30. Kemudian baru bisa dimulai pukul 11.00 lewat," ujar Johnson usai sidang di PN Jaksel, Jumat (3/7/2015).

Sidang baru dilanjutkan usai salat Jumat. Pihak Ilham menghadirkan 2 saksi fakta, yakni Hamzah Ahmad dan Oktavianus. Kemudian pukul 15.00 WIB sidang diskorsing 1 jam untuk menunggu kehadiran saksi ahli dari pemohon. Namun hingga batas waktu yang ditentukan, yakni pukul 16.00 WIB, saksi yang ditunggu tak kunjung hadir.

"Saya dipaksa ‎menghadirkan saksi (ahli) saat itu juga. Nah, saya minta mundur lagi setengah sampai 1 jam (hingga pukul 17.00) saja enggak didengar. Dan saya sedih karena alasannya puasa. Sebenarnya itu alasan yang suci ya. Kalau suci kan harus sesuai dengan keadilan. Karena sebelumnya saya diminta nunggu KPK di sini (PN Jaksel) juga mau menunggu," papar dia.

‎Kondisi tersebut membuat pihak Ilham terpaksa menjalani proses praperadilan tanpa memberikan keterangan saksi ahli. Kesempatan itu sudah tidak dimiliki pemohon. Sidang selanjutnya giliran KPK selaku termohon, yang mengajukan saksi-saksinya.

"Jadi saya sedih juga dan sesak. Harusnya hari ini prosesnya berjalan dengan enak, gitu ya. Tapi hari ini terlihat kesempatan kita menghadirkan saksi ahli untuk menjelaskan apa makna dari sprindik, makna putusan MK, dan makna secara hak asasi bagaimana mengembalikan hak dan martabat klien saya tidak terwujud," keluh Johnson.

Pengacara ini juga menilai, hakim Amat yang memimpin sidang cenderung menutup diri. Hakim Amat juga dinilai tidak memberikan kesempatan kepada pihaknya untuk menghadirkan saksi yang bisa menjadi penguat permohonan praperadilan ini.

"Tapi kelihatannya hakim berkacamata kuda, menutup diri, dan tidak memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kami. Agak menyesakkan ‎menurut saya proses yang terjadi sekarang ini," pungkas Johnson.

Penetapan Tersangka

Ilham Arief Sirajuddin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak 2014 lalu. Ia diduga melakukan tindak pidana korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan PT Traya Tirta Makassar tahun anggaran 2006-2012. Kerugian keuangan negara diduga mencapai Rp 38 miliar.

Ilham kemudian mengajukan permohonan praperadilan ke PN Jaksel terkait penetapan tersangka oleh KPK. Pada praperadilan pertama tersebut, hakim tunggal Yuningtyas Upiek mengabulkan ‎permohonannya dan menyatakan penetapan tersangka oleh KPK tidak sah.

Namun, setelah putusan itu bergulir, KPK kembali menetapkan Ilham sebagai tersangka atas kasus yang sama. Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK lndriyanto Seno Adji mengatakan KPK kembali menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama llham Arief Sirajuddin berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Perkara yang disangkakan kepada llham dalam sprindik baru itu masih sama seperti sebelumnya. Begitu pun pasal yang disangkakan kepada llham, yakni Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Rmn/Ado)