Sukses

Hanura dan Nasdem Nilai Kinerja DPR Memprihatinkan

Mayoritas anggota DPR hanya mementingkan kepentingan kelompoknya.

Liputan6.com, Jakarta - DPR telah mengetok Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi dalam rapat paripurna beberapa waktu lalu. DPR meloloskannya meskipun mendapat penolakan dari Fraksi Nasdem, Hanura dan PDIP. Selanjutnya, program tersebut akan dibahas bersama pemerintah.

Ketua Fraksi Hanura Nurdin Tampubolon menilai kinerja parlemen memprihatinkan. Anggota dewan lebih disibukkannya dengan program dana aspirasi yang mencapai Rp 11,2 triliun per tahun ini.

"Kalau kita lihat dari kinerja DPR memang sangat agak sedikit memprihatinkan. Dana aspirasi itu sebenarnya sudah cukup jelas, ada yang mendukung, ada yang menolak. Hanura menolak sejak awal. Sisanya menerima. Kami melihat itu sampai saat ini tidak berkeadilan," kata Nurdin di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (8/7/2015).

Menurut anggota Komisi XI DPR itu, tidak tepat dana aspirasi diprogramkan sekarang. Sebab, dana pemerintah masih terbatas dan harus digunakan untuk program-program prioritas.

‎"Dana pemerintah terbatas saat ini. Pertumbuhan ekonomi, nilai tukar yang meningkat. Ini fokus dulu ke sini, seperti apa yang dikatakan Presiden Jokowi. Pemerintah lebih fokus ke masyarakat luas," ujar Nurdin.‎

Kepentingan Kelompok

Sekretaris Fraksi Partai Nasdem Syarif Abdullah Alkadrie turut menyayangkan pencapaian DPR yang minim di bidang legislasi. Dia menilai minimnya prestasi DPR erat dengan mayoritas fraksi yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok daripada masyarakat luas.

"Kita harap teman-teman di DPR jangan berpikir kepentingan kelompok dan golongan, tapi kepentingan masyarakat banyak," kata Syarif.

Salah satu contoh yang paling nyata, kata dia, adalah sikap mayoritas fraksi di DPR yang memperjuangkan dana aspirasi daerah pemilihan sebesar Rp 15-20 miliar per anggota untuk dapilnya.

Selain Nasdem, PDIP dan Hanura ikut menolak. Namun, 7 fraksi lainnya mendukung pengadaan dana aspirasi tersebut. "Itu kan pasti ada efeknya. Kita jadi sulit menghasilkan produk legislasi," tutur Syarif.

Menurut dia, ada juga upaya partai politik yang sedang berkonflik untuk menunda pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember mendatang.

Upaya penundaan ini dilakukan dengan niat revisi terhadap Undang-Undang Pilkada hingga Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Padahal, banyak UU lain yang masuk program legislasi nasional prioritas belum rampung dibahas.

"Revisi itu kan hanya untuk kepentingan parpol yang berkonflik. Harusnya kita ini berpikir bagaimana melaksanakan pilkada 9 Desember. Karena pemerintah sudah menyatakan siap," tandas Syarif.

Setidaknya, ada 39 RUU yang masuk ke prolegnas prioritas 2015. Namun, hingga penutupan sidang ke IV kemarin, baru 2 UU yang selesai dibahas, yaitu UU tentang Pemilihan Kepala Daerah dan UU tentang Pemerintah Daerah. (Bob/Mut)