Sukses

Ahok: Politik Dinasti Boleh Saja, Asal Mau Mati buat Rakyat

Ahok juga mengkritisi Komisi II DPR yang tidak pernah serius membuat produk undang-undang, terutama untuk pemilu.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi telah membatalkan aturan terkait petahana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. MK menilai aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi.

Gubernur DKI Jakarta yang dikabarkan akan kembali bertarung dalam bursa pilkada, Basuki Tjahaja Purnama, angkat bicara. Dia mengatakan tidak ada masalah dengan politik dinasti. Namun, ada syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh petahana dan calon kepala daerah saudaranya.

"Kamu mau dinasti, asal mau mati buat rakyat, ya boleh saja. Kalau mau bekerja buat rakyat kenapa enggak boleh? Yang enggak boleh dinasti tapi bareng-bareng korupsi. Yang kita cegah itu dinasti korupsi," ujar pria yang akrab disapa Ahok itu di Jakarta, Kamis (9/7/2015).

Ahok juga mengkritisi Komisi II DPR RI yang tidak pernah serius dalam membuat produk undang-undang, terutama untuk pemilu.

"Makanya dari dulu saya di Komisi II sudah tegasin, saya sudah bilang bukan peraturan yang dibuat. Kita laksanakan saja undang-undang pembuktian terbalik harta pejabat," tegas Ahok.

Mantan Bupati Belitung Timur itu pun menegaskan aturan yang dibatalkan MK tersebut bukan untuk melarang orang berpolitik dinasti, tetapi dinasti korupsi. Praktiknya, dalam proses demokrasi Indonesia, hal itu masih sering diselewengkan.

"Kuncinya di situ, bukan ngelarang orang dinasti (tapi korupsi). Lagian MK juga sudah batalin. Kenapa kita mencontoh demokrasi luar negeri? Kenapa enggak kita menghasilkan demokrasi kesejahteraan rakyat? Karena kita membuang undang-undang ratifikasi PBB soal perang melawan korupsi," pungkas Ahok.

Pada pertimbangannya, hakim berpendapat idealnya suatu demokrasi adalah melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.

Hakim menilai Pasal 7 huruf r UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang. Pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana. (Bob/Sss)

Video Terkini