Sukses

Jimly: Politik Dinasti Enggak Sehat, Hakim MK Berpikir Abad Ke-22

Namun secara pribadi, Jimly menyayangkan keputusan MK terkait legalnya politik dinasti ini.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan aturan terkait incumbent atau petahana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. MK menilai aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana, telah melanggar konstitusi. Dengan kata lain, MK meloloskan praktik politik dinasti bagi kerabat petahana.

Alasan MK tersebut mendapatkan respons negatif dari Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Ia menilai putusan tersebut menandakan para Hakim Mahkamah berpikir terlalu melampaui zaman saat ini.

"Kalau MK buat keputusan itu ya mau bagaimana lagi. Kita hormati saja. Kenapa MK putuskan itu, karena ia menggunakan idealitas abad ke-22‎. Mereka idealis sekali, berpikirnya Indonesia sudah ke abad ke-22," ujar Jimly kepada Liputan6.com di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (9/7/2015).

Menurut Jimly, masyarakat Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga era reformasi saat ini masih menganut sistem feodal. Saat praktik politik dinasti tidak bisa dihindari dalam masalah kepemimpinan dan bermasyarakat.

Karena itu, kata Jimly, penghapusan pasal petahana tersebut justru menjadi sebuah kemunduran dan bentuk legalitas praktik politik dinasti di Tanah Air. "Di masyarakat kita kultur politiknya masih banyak dipengaruhi feodalisme, sehingga mudah timbul praktik dinasti begitu."

"Kalau di kita semua masih menganggu, jadi kalau dibiarkan politik dinasti ini kan enggak sehat. Demokrasi yang lebih sehat harusnya mendapatkan dukungan kebijakan hukum yang merekayasa politik yang res (masalah) publika, bukan ke arah dinasti," sambung dia.

Beda Dinasti RI dengan AS

Jimly pun membandingkan bagaimana kultur budaya di negara ini yang masih feodal dengan Amerika Serikat (AS) yang sudah membebaskan seluruh warganya, tanpa ada batasan apakah ada hubungan dengan petahana atau tidak.

"Kalau nanti negara kita demokrasinya sudah sangat maju seperti di Amerika, kan ada juga dinasti. Sekarang kan Hilary (Clinton) dan George Bush kan dinasti, tapi semua fungsi-fungsi kekuasaan itu sudah berjalan profesional dan rasional, sehingga tidak menganggu. Kalau di kita semua masih menganggu, jadi kalau dibiarkan politik dinasti ini kan enggak sehat," kata dia. ‎

Secara pribadi, Jimly menyetujui penghapusan aturan tersebut bila budaya politik di Indonesia sudah berubah dan tidak lagi feodal. Namun, saat ini hal tersebut belum terlihat. "Kalau di sini sudah rasional Amerika, ya bebasin saja. Seperti misalnya tentara, polisi, pegawai negeri, kalau di Barat itu boleh menjadi caleg, kalau dia tidak terpilih, balik lagi."

"Kenapa dibolehkan? Itu hak politik seorang, harus sama. Cuma di Barat yang maju tingkat peradabannya itu, kalau dia maju, tidak akan bawa pengaruh kantor atau pekerjaannya. Kalau di kita mempengaruhi sekali, semua anak beranak, tetangganya ikut pasti ikut," papar pakar hukum tata negara itu.

Karena sudah diputuskan MK, Jimly mengimbau, masyarakat pun harus menerima. Namun secara pribadi, dia tetap tidak menyetujui segala aturan yang mengarah kepada praktek politik dinasti.

"‎Di kita belum bisa begitu. Itu yang harus jadi pegangan. Tapi ya sekali lagi putusan MK harus kita hormati, cuma agak sedikit sayang aja. Secara pribadi, itu kurang tepat dalam membangun negara bangsa rasional," pungkas Jimly.
‎
MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 pada Rabu 8 Juli 2015. Hakim Konstitusi berpendapat, idealnya suatu demokrasi harus melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik.

Hakim Konstitusi beranggapan, meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.
‎
Hakim Konstitusi juga menilai Pasal 7 huruf r UU Pilkada diskriminatif. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang. Pasal ini memuat pembedaan perlakuan, yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana. (Rmn/Sss)
‎