Liputan6.com, Jakarta - Langkah Menko Polhukam, Tedjo Edhie Purdijatno, dan Jaksa Agung HM Prasetyo membentuk tim rekonsiliasi penyelesaian kasus HAM berat menuai protes.
Pembentukan komite yang nanti akan diisi oleh perwakilan dari Kemenko Polhukam, Kejaksaan Agung, dan Komnas HAM itu justru dinilai menyesatkan. Seperti diungkapkan aktivis HAM, Amirudin Harahap.
"Kalau mereka perlu ambil langkah cepat, kita juga mau langkah cepat tapi bukan sesat," ujar aktivis HAM, Amirudin Harahap, di Kantor KontraS, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/7/2015).
Dia meminta Presiden dengan segala otoritas yang dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan ini. Paling tidak, kata dia, Jokowi memberi kesempatan keluarga korban untuk berbicara lebih banyak tentang apa yang dialami mereka.
"Sehingga langkah itu memberi keadilan korban," imbuh dia.
Selanjutnya: Salah Kaprah?
Salah Kaprah?
Salah Kaprah?
Amirudin menuturkan, kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia merupakan tindak pidana serius. Karena itu sudah seharusnya diselesaikan dengan hukum pidana pula.
"Kalau pidana harus diselesaikan dengan pidana tidak bisa melompat rekonsiliasi. Bagaimana korban tidak pernah diakui, ditanya, tiba-tiba Anda suruh rekonsiliasi kan sulit," ucap dia.
"Langkah keadilan memang harus diambil tapi prosesnya harus benar. Bukan seperti yang digagas Jaksa Agung," cetus Amirudin.
Tak cuma Amirudin. Usulan rekonsiliasi untuk mempercepat penyelesaian kasus HAM berat masa lalu itu juga dinilai salah kaprah oleh Ketua Setara Institute, Hendardi.
Dia menilai, letak kesalahan tersebut ada pada pembentukan komite rekonsiliasi yang timnya diisi oleh para aparat negara. Bagaimana bisa mereka memeriksa dirinya sendiri.
"Ada atau tidaknya rekonsiliasi mesti didahului pengungkapan fakta. Ini belum belum sudah rekonsiliasi," ujar Hendardi.
"Menteri Tedjo jawab, itulah pendapat. Dilakukan salah tidak dilakukan salah. Kita juga ingin cepat, tapi penyelesaian yang konyol juga tidak bisa dilakukan," sambung dia.
Hendardi menuturkan, perjuangan mencari kebenaran sebenarnya sudah menemui kemajuan saat era mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Kala itu, dia bersama aktivis lainnya mendiskusikan ini dengan Wantimpres. Hanya saja masalah ini terbentur kebijakan politik SBY kala itu
"Itu jauh lebih matang dibanding yang dilakukan Jaksa Agung (HM Prasetyo) dan Tedjo. Ini kan politisasi, mau buru-buru tapi hanya memetik citra," cetus dia.
Selanjutnya: Bukan Arisan...
Advertisement
Bukan Arisan
Bukan Arisan
Hendardi juga mengkritisi dasar hukum pembentukan komite itu. Padahal, menurut dia, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sudah lama dicabut. Ketentuan tidak menghukum orang yang seharusnya dihukum juga tidak memiliki landasan hukum.
Belum lagi soal orang-orang yang akan mengisi komite itu. Tim, ucap dia, seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah, aparatur, yang dituduh melakukan pelanggaran, dan korban. Tapi, sambung Hendardi, tim justru diisi oleh Kejaksaan Agung, Kemenko Polhukam, dan Komnas HAM.
"Ini bukan arisan atau bikin gado-gado, ini persoalan serius. Dalam hukum HAM, TNI, dan aparat lain adalah subjek hukum yang tidak bisa mengadili diri sendiri. Bisa kita bayangkan kualitasnya yang diproduk tim ini," tutur dia.
"Ini hanya akan melukai lebih lanjut korban dan mengikis kepercayaan pemerintah dengan hiburan palsu," ucap Hendardi.
Wacana ini juga dikecam oleh aktivis HAM lainnya, yakni HS Dillon. Dia menilai, harus ada pelaku yang divonis untuk mengungkap secara utuh kasus pelanggaran HAM berat. Dengan begitu, diharapkan pelaku lainnya akan muncul untuk menyerahkan diri.
"Kasus HAM berat memang begitu banyak, tapi itu tidak berarti tidak bisa menyelesaikan beberapa kasus. Di Afrika Selatan sudah ada kolonel yang dihukum, baru orang datang mengaku saya pelakunya," kata mantan anggota tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi itu.
Selanjutnya: Korban adalah Korban...
Korban adalah Korban
Korban adalah Korban
Sementara aktivis HAM Franz Magnis Suseno menilai, pembentukan komite ini mengecilkan masalah HAM berat lantaran tidak memerhatikan penegakan hukum. Menurut dia, rekonsiliasi hanya bisa dilakukan oleh dua pihak yang setingkat.
Sedangkan, sambung dia, untuk kasus pelanggaran HAM berat jelas posisi korban dan pelaku jauh berbeda.
"Tidak mungkin pelaku memaafkan para korban juga tidak etis sama sekali para pelaku menawarkan rekonsiliasi," ujar pria yang karib disapa Romo Magnis itu.
Menurut Romo Magnis, proses rekonsiliasi bukan tidak mungkin dilakukan. Tapi, bagaimana bisa rekonsiliasi terjadi kalau pelakunya saja belum diketahui. Lebih dari itu, pemerintah bahkan belum menyebut ada korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.
"Langkah pertama harus mengakui para korban adalah korban. Tuntutan keadilan harus dijalankan. Kalau ada pelaku, maka hak korban untuk rekonsiliasi atau pemaafan, tidak bisa dipaksa," imbuh budayawan ini.
"Yang mau kami cegah seakan-akan semacam mari kita rukun padahal kejahatan dan ketidakadilan berat kejahatan HAM tidak diakui," pungkas Romo Magnis. (Ndy/Ans)
Advertisement