Sukses

Reshuffle Kabinet Kerja Jokowi Suatu Keharusan?

Tingginya perhatian publik terhadap Presiden Jokowi membuat masyarakat mempunyai harapan besar terhadap program-program yang dijanjikan.

Liputan6.com, Jakarta - Reshuffle atau perombakan menteri Kabinet Kerja menjadi isu utama dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Belakangan Jokowi kerap berkonsultasi dengan orang-orang kepercayaannya, terkait desakan terhadap kabinet untuk segera melakukan reshuffle.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menilai, tingginya perhatian publik terhadap Jokowi membuat masyarakat mempunyai harapan besar terhadap program-program yang dijanjikan.

"Apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat, pasti menimbulkan kekecewaan yang cukup besar juga. Sedangkan pencapaian pemerintah saat ini tidak sesuai dengan yang diharapkan," ujar dia dalam dialog terbuka di Jakarta, Sabtu (11/7/2015).

Menurut Masinton, sebagai pembantu Presiden, para menteri di Kabinet Kerja mempunyai tugas dalam melaksanakan program Nawacita yang diusung Jokowi. "Mewujudkan program Nawacita adalah jalan baru menuju Indonesia menemukan wujud pembangunan yang berdikari," tegas dia.

Politisi PDI Perjuangan ini berpandangan, pemerintahan Jokowi saat ini adalah antitesa dari pembangunan 10 tahun sebelumnya. Hanya saja, dia mengkritik beberapa menteri yang dinilai tidak mampu melaksanakan program Nawacita.

"Komposisi kabinet tidak memiliki roh Nawacita, 9 program (Nawacita) lepas dari program kementerian untuk bisa memerdekakan bangsanya, sebagian menteri tindak mengimani Nawacita," jelas dia.

Masinton menilai, ukuran dasar organisasi yang baik adalah organisasi yang menghasilkan sesuatu yang baik. Menurut dia, dalam lingkaran Istana yang saat ini sering salah membuat administrasi, mengindikasi organisasi tidak berjalan dengan baik.

"Buat undangan saja kacau. Setiap mengeluarkan kebijakan yang sudah dikeluarkan kemudian diganti lagi (contoh kasus undangan BIN, kebijakan kenaikan Tunjangan Mobil Pejabat dan Jaminan Hari Tua)," kritik dia.

Hal ini bisa meruntuhkan wibawa Presiden dan Istana. Kasus ini adalah kesalahan di tingkat elementer. "Sangat bahaya, tidak memahami tupoksi dasar," kata dia.

Terkait isu reshuffle, menurut Masinton, lingkaran Istana harus diperhatikan khusus, karena ini terkait masalah administratif. Reshuflle adalah bagian dari instrumen dengan mengukur berdasarkan basis kinerja.

Tambahan Partai Koalisi

Selain itu, Mansinton mengatakan, pemerintah tetap membutuhkan dukungan parlemen yang solid. Karena dengan begitu parlemen akan membantu menopang pekerjaan pemerintah. Melihat kondisi pemerintah yang tidak begitu didukung parlemen, membutuhkan koalisi 1 partai lagi agar kerja pemerintah tidak dihambat dari sisi penganggaran dan legislasi.

"Sebagus apapun rencana, ujung-ujungnya voting, kita pasti kalah," ujar dia.

Berbeda dengan Masinton, Dewan Penasihat The Indonesia Institute Indra J Piliang mengatakan, kementerian di Kabinet Kerja Jokowi saat ini belum layak dievaluasi, karena jajaran di kabinet belum selesai membentuk tim kerja. "Belum layak dievalusi, pengisian pejabat Eselon I saja belum selesai," ungkap dia.

Politisi Partai Golkar ini melihat, ada beban berat yang ditanggung pemerintahan yang berkaitan dengan masalah organisasi. "Beban di tingkat organisasi sangat berat karena banyak terjadi perubahan struktur di dalam beberapa kementerian," kata dia.

Terkait isu reshuffle, Indra menilai, jika hal itu dilakukan maka harus ada penguatan di bidang tertentu. Dia berharap, menteri jangan terlalu aktif berbicara di media tetapi langsung bekerja di lapangan dengan menciptakan prestasi-presatasi yang baik.

"Hanya 2 menteri yang saya lihat aktif bicara di media, tetapi banyak juga menteri yang bekerja di lapangan tidak dilihat. Media akan mengejar karena prestasi yang kita bikin," tegas Indra.

Kabinet Politik

Pengamat Politik Charta Politica Yunarto Wijaya mengatakan, terpilihnya Jokowi sebagai Presiden memiliki konsekuensi besar. Karakter politik Jokowi membuat jalannya Kabinet Kerja terlihat lambat, sehingga Jokowi menanggung beban secara politik dan organisasi. "Sehingga mengerucut pada stagnansi," tutur dia.

Apakah reshuffle menjadi obat mujarab? Yunarto mengatakan, kondisi pemerintahan Jokowi saat ini adalah komplikasi atas kondisi politik dan ekonomi. "Dalam 2 bulan terakhir Presiden meminta evaluasi kabinet. Bukan tidak mungkin Agustus akan ada reshuffle karena memang bertepatan dengan pembacaan nota keuangan," kata dia.

Yunarto melihat, isu reshuffle sepertinya terlihat sulit dilakukan Presiden. Sebagai seorang kepala negara, Jokowi mempunyai otoritas yang sangat kuat untuk memberhentikan atau memutuskan jabatan seseorang.

"Terlihat sulit karena pemerintahan yang sekarang belum membentuk sistem presidensial yang sepenuhnya, saat ini kita membentuk kabinet politik," tegas dia.

Menurut Yunarto, ada suatu formula yang dipertimbangkan Presiden untuk melaksanakan reshuffle dengan berpatokan terhadap capability, coalition dan chemistry. Jika faktor coalition lebih mendominasi Presiden, berarti Jokowi sedang tersandera.

Sedangkan jika faktor chemistry adalah faktor subjektif yang berkaitan dengan suka atau tidak suka. Lain halnya faktor capability, faktor ini melihat secara objektif dengan menjadikan proses dialektika demokrasi yang sehat.

"Ini adalah kompleksitas kehidupan memimpin negara. Sedangkan Jokowi tidak mempunyai jaringan politik. Saya berharap dukungan rakyat terhadap Jokowi masih ada," pungkas Yunarto. (Luq/Rmn)Â