Sukses

6 Advokat dalam Jeratan KPK

Biasanya, advokat jadi perpanjangan tangan klien untuk berhubungan dengan pihak terkait yang umumnya aparat penegak hukum, seperti hakim.

Liputan6.com, Jakarta - Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir 10 tahun lalu, beragam sosok dan profesi pernah menjadi pesakitan lembaga ini akibat dugaan korupsi. Mulai dari pengusaha, polisi, hakim, politisi hingga advokat sudah merasakan sepak terjang KPK.

Khusus untuk advokat, KPK kerap menangkap tersangka yang berperan sebagai perantara terjadinya korupsi. Biasanya, advokat menjadi perpanjangan tangan dari kliennya untuk berhubungan dengan pihak terkait yang umumnya adalah aparat penegak hukum, seperti hakim.

Terakhir, KPK menangkap 2 advokat yaitu M Yagari Bhastara alias Gerry dan Otto Cornelis Kaligis (OC Kaligis) dalam kasus dugaan suap terhadap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Sumatera Utara.

Berikut di antaranya 6 advokat yang pernah ditangkap KPK sejak 2005 hingga 2015.

 

2 dari 7 halaman

1. Harini R Wiyoso

Harini R Wiyoso adalah seorang pengacara yang namanya mencuat dalam kasus penyuapan oleh Probosutedjo terhadap Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dan beberapa hakim lainnya.

Harini adalah mantan hakim pada Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang kemudian menjadi pengacara Probosutedjo dalam kasus penyimpangan Dana Reboisasi.

Pada bulan Agustus 2005, Harini menemui seorang staf MA yang bernama Pono Waluyo dan menanyakan cara melakukan pendekatan kepada Ketua MA Bagir Manan agar mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan kliennya.

Akhirnya disepakati bahwa Pono bersama beberapa kawannya akan membantu proses tersebut dengan imbalan sebesar Rp 1,8 miliar ditambah Rp 3 miliar untuk Ketua MA.

Namun, saat serah terima uang tersebut pada 30 September 2005, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggerebek Harini beserta kelima staf MA yang terlibat kemudian ditangkap.

Pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jumat 30 Juni 2006, Harini divonis hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 6 bulan kurungan. Putusan ini jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK sebelumnya yang menuntut 8 tahun penjara.

 

3 dari 7 halaman

2. Mario C Bernardo

Mario C Bernardo adalah pengacara dari kantor hukum Hotma Sitompoel and Associates yang ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantor pengacara Hotma Sitompul di Jalan Martapura No 3, Jakarta Pusat pada 25 Juli 2013.

Ketika itu Mario baru saja memberikan uang kepada Pegawai Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA) Djodi Supratman melalui Deden sebesar Rp 50 juta.

Uang itu diberikan agar majelis hakim di MA memutus Hutomo dihukum penjara sesuai permintaan jaksa atas permohonan klien Mario, yaitu Koestanto Hariyadi Widjaja dan Sasan Widjaja karena pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Hutomo dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

Mario menghubungi Djodi Supratman untuk menanyakan mengenai perkara Hutomo Wijaya Angowarsito dan menyampaikan agar Hutomo dihukum penjara, sebagai imbalan Koestanto dan Sasan bersedia memberikan sejumlah uang.

Djodi memberikan informasi bahwa majelis hakim yang menangani perkara adalah Gayus Lumbun, Andi Abu Ayyub Saleh dan Zaharuddin Utama.

Djodi selanjutnya bertemu dengan staf kepaniteraan di MA, Suprapto dan menyampaikan permintaan bantuan Mario dengan imbalan dana sebesar Rp 200 juta.

Suprapto menyanggupi permintaan Mario melalui Djodi namun meminta tambahan menjadi Rp 300 juta. Mario kemudian menyanggupi permintaan Suprapto dengan menyiapkan uang. Usai penyerahan uang tahap ketiga, Mario dan Djodi ditangkap KPK.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin 16 Desember 2013, majelis hakim menyatakan Mario bersalah dan dipidana selama 4 tahun penjara dan pidana denda Rp 200 juta.

 

4 dari 7 halaman

3. Susi Tur Andayani

Susi Tur Andayani, seorang pengacara asal Lampung, ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Lebak, Banten, pada Rabu malam 2 Oktober 2013 atas dugaan sebagai perantara suap bagi Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.

KPK juga menduga Susi menerima hadiah atau janji dari Tubagus Chaeri Wardana Chasan, Ratu Atut Chosiyah, serta Rycko Menoza dan Eki Setyanto untuk diberikan kepada Akil terkait penanganan sengketa Pilkada Lebak dan Lampung Selatan di MK.

Untuk Pilkada Lebak, penerimaan hadiah atau janji bermula ketika Susi ditunjuk sebagai salah satu kuasa hukum Amir Hamzah-Kasmin, pemohon sengketa Pilkada Lebak di MK. Amir-Kasmin mengajukan keberatan atas Surat Keputusan KPU Kabupaten Lebak tanggal 8 September 2013 yang menetapkan Iti-Ade sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih periode 2013-2018.

Pada 26 September 2013, Susi bertemu Ratu Atut Chosiyah, Amir, dan Kasmin di kantor Gubernur Banten. Amir melaporkan kepada Atut mengenai peluang dikabulkannya perkara sengketa Pilkada Lebak di MK. Atut meminta pengurusan perkara Pilkada Lebak dilakukan melalui Akil yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri.

Lalu, Susi menelepon Akil untuk memberitahukan hasil pertemuannya dengan Atut. Menanggapi pemberitahuan itu, Akil meminta Susi menyampaikan kepada Atut agar menyiapkan dana Rp 3 miliar.

Namun, Amir tidak memiliki uang, sehingga Susi menyarankan Amir bersama-sama Kasmin menghadap Atut untuk meminta bantuan menyediakan dana Rp 3 miliar. Namun, Wawan hanya bersedia menyiapkan uang Rp1 miliar.

Susi membujuk Akil agar bersedia menerima uang Rp 1 miliar dan membantu pengurusan sengketa Pilkada Lebak. Alhasil, MK mengabulkan permohonan Amir, serta memerintahkan pemungutan suara ulang.

Sehari kemudian, Wawan mengirimkan SMS kepada Akil. Wawan menyampaikan terima kasih karena Akil sudah memenangkan Amir. Namun, sekitar pukul 22.30 WIB, Susi ditangkap petugas KPK di rumah Amir. Sementara, tas berwarna biru berisi uang Rp 1 miliar ditemukan KPK di rumah orang tua Susi.

Pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin 23 Juni 2014, majelis hakim menjatuhkan vonis 5 tahun penjara untuk Susi. Pengacara tersebut juga dikenai pidana denda Rp 150 juta atau kurungan selama 3 bulan. (Ado)

 

5 dari 7 halaman

4. Tengku Syaifuddin Popon

Tengku Syaifuddin Popon adalah pengacara yang mendampingi mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh setelah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda 500-juta rupiah subsider 6-bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Puteh dinyatakan terbukti menggelembungkan harga pembelian helikopter Mi-2 buatan Rusia untuk Pemprov Aceh.

Tak terima dengan hukuman itu, Puteh mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tipikor Jakarta. Pada saat inilah nasib Popon berbalik arah, setelah dia berusaha menyuap oknum Pengadilan Tinggi untuk meringankan hukuman kliennya di tingkat banding.

Awalnya, penyelidik KPK mendapatkan informasi bahwa terjadi pemberian sejumlah uang oleh seorang pengacara kepada panitera di Pengadilan Tinggi Jakarta. Berdasarkan informasi tersebut, KPK langsung turun ke lapangan.

Ketika itulah penyidik KPK membekuk Popon yang tengah memberikan uang Rp 250 juta kepada 2 Panitera PT Jakarta, yakni Wakil Panitera Syamsu Ramadhan Rizal dan Panitera Muda M Soleh di Gedung Pengadilan Tinggi Jakarta, Rabu 15 Juni 2005.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat 18 November 2005, Popon dinyatakan terbukti menyuap pegawai Pengadilan Tinggi Jakarta. "Terdakwa terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan cara memberikan sesuatu kepada pejabat atau penyelenggara negara," ucap hakim Gusrizal.

Dia juga dinyatakan terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk dakwaan pertama. Popon juga dipersalahkan dalam hal Pasal 5 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Salah satu yang memberatkan Popon menurut majelis hakim adalah terdakwa berprofesi sebagai advokat yang seharusnya ikut memberantas kejahatan korupsi, namun ia justru melakukan penyuapan. Selain itu Popon juga dianggap telah mencoreng nama baik korps penegak hukum dan dunia peradilan di Tanah Air.

Akhirnya, majelis hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun 3 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan untuk Popon.

 

6 dari 7 halaman

5. Adner Sirait

Adner Sirait adalah pengacara yang tertangkap tangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan kasus suap terhadap seorang hakim. Lagi-lagi motifnya adalah memberikan uang kepada hakim untuk memuluskan perkara yang tengah ditangani.

Penyidik KPK juga menangkap hakim Ibrahim yang diduga menerima suap sebesar Rp 300 juta dari Adner terkait kasusnya yang bergulir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta. Keduanya ditangkap ketika mengendarai mobil di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa 30 Maret 2010 sekitar pukul 10.30 WIB.

Tim KPK membuntuti keduanya sejak tersangka berada di PT TUN di Cikini, Jakarta Pusat. Ketika keduanya tiba di kawasan Cempaka Putih, hakim Ibrahim dan Adner keluar dari mobil masing-masing dan terjadi penyerahan plastik yang berisi uang tunai Rp 300 juta.

Kasus ini juga diduga melibatkan sebuah perusahaan berinisial PT S dulunya bernama PT T yang pernah tersangkut sengketa tanah kehutanan. Perusahaan ini terlibat sengketa hingga ke pengadilan dan sengketa berlanjut pada gugatan terhadap kebijakan instansi pemerintah, hingga ke PT Tata Usaha Negara.

Dalam perkembangannya, Direktur PT Sabar Ganda Darianus Lungguk Sitorus juga dijerat sebagai tersangka karena menjadi pihak yang menyuruh Adner sebagai advokatnya.

Pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 25 Oktober 2010, dalam pertimbangan hukum, majelis hakim menyebutkan, pada 18 Maret 2010 Adner menemui Ibrahim di PT TUN Jakarta untuk menanyakan perkara sengketa tanah seluas 9,9 hektare di Cengkareng, Jakarta Barat, melawan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ibrahim adalah hakim yang menangani kasus ini di PT TUN.

Di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, PT Sabar Ganda milik DL Sitorus memenangi perkara dan dianggap sebagai pemilik sah tanah itu. Pemrov DKI melalui Kepala Kantor Pertanahan Nasional Jakarta Barat mengajukan banding ke PT TUN DKI Jakarta. Ibrahim meminta uang Rp 500 juta untuk menguatkan putusan di tingkat pertama PTUN yang memenangkan PT Sabar Ganda.

Majelis hakim menambahkan, akhirnya disepakati uang yang akan diserahkan kepada Ibrahim sebesar Rp 300 juta. Adner melaporkan kepada DL Sitorus soal negosiasinya dengan Ibrahim melalui telepon. Namun, pembicaraan kedua terdakwa ini direkam KPK.

Pada 29 Maret 2010, DL Sitorus menyerahkan cek BNI senilai Rp 300 juta kepada notaris Yoko Fera Mokoago untuk diberikan kepada Adner yang keesokan harinya diserahkan kepada Ibrahim sebelum KPK meringkus keduanya.

Atas semua kesalahannya, majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 4,5 tahun untuk Adner dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara.

 

7 dari 7 halaman

6. Otto Cornelis Kaligis

Otto Cornelis Kaligis atau OC Kaligis adalah advokat yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi belum lama ini. Penahanan Oc Kaligis didahului oleh operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Kamis 9 Juli lalu di PTUN Medan.

Dalam OTT itu, KPK menangkap 5 orang yang diduga sedang melakukan transaksi suap terkait pengurusan perkara di PTUN Medan. Di antaranya seorang pengacara dari kantor advokat OC Kaligis, yaitu M Yagari Bhastara alias Gerry.

Kurang dari 24 jam, usai pemeriksaan secara intensif, KPK akhirnya resmi menetapkan kelimanya sebagai tersangka. Setelah melalui pengembangan, KPK kemudian mengajukan permohonan cekal untuk OC Kaligis serta menjadwalkan pemeriksaan untuk pengacara kelahiran Makassar, 19 Juni 1942 itu.

Dari pencekalan serta pemanggilan oleh KPK, dugaan kalau OC Kaligis juga terkait langsung dengan kasus ini makin menguat. Apalagi pada hari yang sama KPK juga mengirim para penyidiknya ke kantor OC Kaligis untuk melakukan penggeledahan.

Tak cukup menggeledah, KPK kemudian menetapkan OC Kaligis sebagai tersangka dan Selasa kemarin KPK juga menangkap yang bersangkutan di sebuah hotel mewah di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung menahan pengacara Otto Cornelis (OC) Kaligis usai diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara, selama lebih dari 5 jam.

Saat digelandang ke mobil tahanan usai diperiksa selama lebih dari 5 jam di Gedung KPK, pria 73 tahun ini bersikukuh tidak terlibat dalam perkara penyuapan hakim PTUN itu. Ia pun membantah memerintahkan anak buahnya M Yagari Bhastara alias Gery menyuap hakim PTUN Medan.

"Saya tidak merampok uang negara, bukan saya yang ngasih duit kepada hakim. Saya tidak menyuruh anak buah saya ke Medan," ujar OC Kaligis di Gedung KPK, Jakarta, Selasa malam 14 Juli 2015.

Ia juga menilai upaya penahanan yang dilakukan penyidik KPK ini tidak tepat. Karena menurut OC, ia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi bukan tersangka. "Saya ini diperiksa sebagai saksi tapi kok ditahan," kata dia. (Ado/Ali)

Â