Sukses

Jika Beri Antasari Grasi, Yasonna Sebut Presiden Tak Langgar UUD

Pemerintah sedang mengkaji landasan hukum jika Presiden Jokowi memberikan grasi kepada Antasari Azhar, terpidana kasus pembunuhan.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah masih mempertimbangkan pemberian grasi terhadap mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, terpidana 18 tahun penjara dalam kasus pembunuhan.

Terkait itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly menyatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak akan melanggar konstitusi atau Undang-undang Dasar 1945 jika memberikan grasi kepada Antasari Azhar.

"Kalau konstitusi tidak (melanggar), Undang-undang (Nomor 5 Tahun 2010) yang membatasi itu," ucap Yasonna usai bersilaturahmi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Jumat (17/7/2015).

Antasari Azhar (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Pemerintah pun sedang mengkaji landasan hukum jika Presiden Jokowi memberikan grasi kepada terpidana kasus pembunuhan Antasari Azhar itu.

"Itu yang sekarang sedang dikaji, apakah akan melanggar UU atau tidak, karena kewenangan itu ada di konstitusi (UUD 1945). Ini masih dikaji karena kan bagaimanapun konstitusi lebih tinggi dari UU," jelas Yasonna.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi, permohonan grasi dari terpidana kepada Presiden diberikan satu tahun setelah vonis berkekuatan tetap atau inkracht. Sedangkan dalam konstitusi UUD 1945, Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan grasi kepada terpidana.

"Kita berkaca, misalnya yang di Papua kemarin ada juga yang diberi (grasi) karena kita anggap tapol (tahanan politik). Jadi ini sepenuhnya Presiden sedang mengkaji bagaimana baiknya," urai Menteri Yasonna.

Sebelumnya, Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Staf Kepresidenan Eko Sulistyo menyatakan syarat formal grasi yang diajukan Antasari Azhar tidak terpenuhi.

Aturan UU No 5/2010

"Terkait dengan permohonan grasi ini, masalah grasi ini kan sebenarnya sudah diatur di dalam UU Nomor 5 Tahun 2010. Di dalam UU ini jelas disebutkan, khususnya Pasal 7 bahwa grasi ini meskipun itu hak prerogatif Presiden, Presiden harus mendapat pertimbangan dari MA," kata Eko.

Ia menambahkan, terkait konteks dalam UU tersebut khususnya pasal 2, di dalamnya ada pembatasan soal limiditas pengajuan grasi yang dibatasi hanya satu tahun sejak keputusan itu inkracht atau berkekuatan hukum tetap.

Jadi, lanjut dia, kalau dilihat dasar pertimbangan MA, bahwa saat ini sudah melampaui batasan setahun pengajuan sejak inkracht, maka sebetulnya ruang grasi ini syarat formalnya menjadi tidak terpenuhi.

"Oleh karena itu, Presiden atas dasar kemanusiaan dan hak prerogratif tadi itu terkendala atau sangat dibatasi oleh UU pemberian grasi itu. Supaya kita juga tidak salah dalam proses pemberian grasi ini," ujar Eko.

Antasari Azhar

Antasari Azhar divonis 18 tahun penjara oleh PN Jaksel pada Februari 2010 dalam kasus pembunuhan terhadap bos PT Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.‎ Saat ini dia sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang.

Antasari sempat mengajukan peninjauan kembali karena merasa dikriminalisasi. Namun Mahkamah Agung (MA) menolak mengabulkan PK Antasari pada 13 Februari 2012.

Karena penolakan PK itu, Antasari Azhar kemudian menguji materi Pasal 263 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)‎ ke Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh MK, permohonan Antasari dikabulkan. MK menyatakan, pengajuan PK boleh lebih dari sekali.

Meski boleh diajukan lebih dari sekali sebagaimana putusan MK, namun MA meresponsnya lewat Surat Edaran MA (SEMA). Dalam SEMA itu, MA membatasi pengajuan ‎PK hanya sampai 2 kali, tidak boleh lebih. (Ant/Ans/Ado)

Video Terkini