Sukses

'Gandengan Tangan Penculik Anakku...'

Sintya Hermawan diculik selama 3 hari. Ia diantar dalam kondisi hidup oleh seorang sopir taksi. Penculik masih misterius.

Liputan6.com, Jakarta - Tak banyak pertanyaan yang diajukan Siti Ermawati kepada putrinya, Sintya Hermawan, pagi itu. Dia hanya ingin memastikan buah hatinya baik-baik saja, meski sudah 3 malam tak pulang ke rumah: diculik.

"Kamu baik-baik saja kan? Nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Erma kepada putrinya yang masih berusia 6 tahun itu pada 21 Juli 2015.

Bocah yang karib disapa Tia itu pun menenangkan ibundanya, "Iya enggak kenapa-napa."

Namun Erma menahan diri. Alih-alih memberondong cerita tentang masa-masa hilangnya sang bocah, ibu 2 anak itu mengalihkan pertanyaan ke urusan perut. "Udah makan apa belum?" tanya Erma lagi.

Tia menjawab polos, "Cuma makan Indomie rebus." Maka tanpa pikir panjang, Erma beranjak ke dapur, mengambil makanan di piring, lalu menyuapi putri yang telah dirindukannya itu.

Tia diduga telah diculik. Dia lepas dari keluarganya sejak Sabtu 18 Juli 2015 setelah dibawa oleh pria tak dikenal di Pusat Grosir Cililitan (PGC) Jakarta Timur dan diduga disekap di sebuah tempat di daerah Bekasi, Jawa Barat.

Rekaman CCTV manajemen PGC menggambarkan, Tia pergi dengan penculik dengan mimik tenang dan tidak terpancar raut ketakutan. Saat itu mereka terlihat bergandengan tangan menuju luar gedung perbelanjaan.

Kepolisian menduga, bocah Tia diculik dengan dihipnotis dan terkait penjualan organ.

Nasihat Pria Misterius

Di balik semua kebahagian yang kembali ke rumah pasangan Erma dan Ridwan ada andil jasa seorang sopir taksi bernama Sairin Triansyah. Dia lah yang mengantarkan Tia pulang ke rumahnya.

Sairin tak langsung tancap gas meski penumpang cilik yang menumpangi taksinya telah sampai di tujuan. Dengan kemeja birunya dia ikut memasuki rumah berukuran 3x8 meter itu. Di sana dia menyaksikan tangis haru bercampur bahagia menyelimuti para penghuni rumah tersebut menyambut kepulangan Tia, bocah yang diantarnya pagi itu.

"Betul saya yang antarkan Sintya ke rumahnya. Saya parkirkan mobil saya di depan gang. Karena kan gangnya kecil, jadi enggak muat kalau masuk," kata Sairin.

"Sudah jalan kaki tinggal 10 meter sebelum sampai rumahnya saya disuruh berhenti sama Sintya. Katanya enggak usah ikut antar ke dalam. Tapi hati kecil saya ngotot mau antar Sintya sampai ketemu orangtuanya."

Maka sampailah Sairin bersama Tia di rumah itu.

Pada awalnya Sairin tidak mengerti dengan situasi yang dilihatnya itu. Pun begitu dia tak mengetahui siapa bocah yang diantarnya itu.

Keluarga besar Cintya menempelkan foto bocah 6 tahun yang diculik itu dan foto close up sang penculik.

Sairin tak menyangka jika anak yang dititipkan padanya untuk diantar pulang adalah bocah Sintya yang menjadi korban penculikan dan ramai diberitakan di televisi selama 3 hari berturut-turut.

Dia mengaku hanya menuruti apa yang diperintahkan seorang pria saat mengetuk kaca taksinya di depan pusat perbelanjaan Mega Mal Bekasi, Jawa Barat.

"Orang itu hanya bilang agar saya antarkan anak ini ke PGC. Dia bilang nanti anak ini akan tahu rumahnya kalau sudah di PGC. Saya sama sekali enggak curiga. Malah dia yang keliatannya enggak percaya saya, sampai semuanya difoto," ungkap Sairin.

Sairin menuturkan, sebelum mengantar Tia, pria misterius itu sempat mengambil beberapa foto sebelum pintu ditutup. Pria yang dimaksud Sairin juga sempat menasihati bocah itu agar tak mengikuti ajakan orang yang tidak dikenal. Bahkan juga mengajari Tia cara memberikan perlawanan.

"Saya sampai bilang, enggak sekalian aja nyimpan nomor (handphone) saya. Saya kasih deh akhirnya. Dia foto muka saya, identitas saya yang nempel di mobil, nomor mobil saya, nomor lambung juga, baru dia tutup pintu mobil," kenang Sairin.

"Tapi sebelumnya dia titip pesan sama Sintya kalau jangan mau diajak sama orang yang enggak dikenal. Kalau perlu katanya nangis yang keras," cerita dia sambil menirukan gaya bicara pria tersebut.

Bocah Cerdas

Karena tak merasa curiga sedikit pun maka Sairin tidak memperhatikan betul wajah pria tersebut. Setelah pintu mobil ditutup, Sairin pun tancap gas menuju PGC sesuai arahan pria itu.

Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut sang sopir untuk mengajak Tia bicara. Hingga akhirnya bocah itu sendiri yang membuka percakapan.

"Om (sopir) tahu enggak nama om (pria misterius) itu? Sintya mulai nanya saya duluan. Ya saya jawab enggak tahu. Kan kamu yang sama om itu, saya kan baru ketemu tadi. Saya jawab begitu," ujar Sairin sembari menirukan ucapan Tia.

Kecerdasan Tia mulai terlihat ketika dia mengenali PGC, tempat dia sudah dibawa orangtuanya berdagang di sana sejak usia 40 hari. Tia nampak hafal betul jalan menuju rumahnya dari PGC, yang berjarak kurang lebih 3 kilometer. Dengan arahannya, Sairin melajukan taksinya hingga sampai di rumah Tia.

"Wah dia paham betul. Pas sampai di PGC, dia tanya ke saya mau lewat mana. Dia nanya ke saya, 'Om mau lewat SMA 51 atau mau lurus?' Saya jawab, terserah adik aja mau lewat mana. Terus dia jawab, 'ya udah deh belok kanan aja terus belok kiri'. Dari situ saya tahu kalau jalan yang dituju ternyata Jalan Condet," papar sopir taksi tersebut.

 

2 dari 4 halaman

Ingatan Tia

Sesampainya di rumah itu dan mereda segala tangis haru, Sairin berbincang dengan orangtua Tia. Beberapa jam kemudian keluarga kecil itu bersama sang sopir taksi berangkat ke kantor kepolisian.

Ayah Tia, Ridwan bercerita, di kantor polisi itu Sairin turut diperiksa untuk dimintai keterangannya.

"Enggak lama kita kumpul sama Pak Sairin juga, 2 jam, kemudian kita lapor ke polisi kalau Sintya sudah kembali, dan kita semua langsung dipanggil ke polsek. Di situ akhirnya Sintya dan Pak Sairin dimintai keterangan," ucap Ridwan.

Namun tak mudah untuk menggali informasi dari Tia tentang si penculik. Kepolisian dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jakarta Timur harus menggunakan trik khusus untuk mencairkan suasana hatinya.

Seperti diceritakan Kapolres Jakarta Timur Komisaris Besar Polisi Umar Faroq.

"Kita ajak jalan-jalan Sintya. Kita ajak main dulu sambil sedikit cerita-cerita. Kita ada Unit PPA yang memang dengan keahlian dan kemampuannya menangani kasus seperti ini. Memang kita ajak main supaya menjadi cair suasananya," jelas Faroq.

 

Tak lama setelah Tia ditemukan, kepolisian pun langsung mendatangi bocah tersebut.

Kedua orangtua bocah itu, Ridwan dan Erma terus mengikuti Tia ketika bermain hingga mendengar penuturan anak pertamanya itu.

Ridwan mengatakan, dalam ceritanya, Tia mengaku tidak mengalami sedikit pun tidak kekerasan. Ini sesuai dengan hasil visum yang ditunjukan tim medis ketika memeriksa Tia.

"Dia sudah enggak hafal tempat (tinggal pria) itu. Yang dia ingat itu sempat naik mobil 5 kali. Sampai sana katanya pagi. Tidur sama omnya kata anak saya, soalnya tempatnya sempit dan kasurnya cuma satu. Katanya omnya enggak galak, omnya baik," tutur Ridwan.

"Tapi Sintya enggak boleh ke mana-mana. Makan cuma dikasih mi rebus aja. Mandi cuma sekali, mandi sendiri. Karena memang dia sudah bisa mandi sendiri."

Pelaku Diduga 2 Orang

Sementara kepolisian masih terus berjibaku mengungkap penculik Tia yang diduga berjumlah 2 orang. Beberapa langkah telah dilakukan kepolisian untuk menemukan para pelaku.

"Untuk penyelidikan awalnya ya hanya dari CCTV ya. Setelah itu kita kembangkan dari beberapa kesaksian baik di mal atau di luar mal. Kami sudah kumpulkan saksi hingga saat ini ada 8 orang saksi. Termasuk keluarga dan orang-orang di sekitar lokasi. Dan Pak Sairin adalah orang kedelapan yang kita mintai keterangan," terang Kapolres Jakarta Timur Komisaris Besar Polisi Umar Faroq.

Dari pengalamannya mengungkap berbagai kasus kejahatan, Faroq menduga bahwa sebelumnya pelaku sudah mengenal Tia. Begitu juga sebaliknya. Hal itu yang menjadi alasan begitu mudahnya pelaku melancarkan aksinya.

"Sebelum dieksekusi seperti sudah mengenal. Anak itu kan cerdas ya, sudah ikut orangtuanya berdagang. Sudah sering bertemu orang dewasa. Dan sepertinya sudah diintai, kalau langsung eksekusi pasti ada penolakan. Pasti sudah ada pembelajaran tentang anak ini sendiri," kata dia. 

Pelaku diduga tak sendirian. "Dan kejahatan itu jarang sekali pemain tunggal, itu dari analisa penyelidikan ya," papar polisi yang sebelumnya menjabat sebagai Anjak Madya Bidpamobvit Baharkam Polri tersebut.

Seorang bocah berusia 6 tahun menjadi korban penculikan di sebuah pusat perbelanjaan di Cililitan.

Hal ini pula yang membuat heran sang ayah, Ridwan.

"Anak saya itu sebenarnya enggak mudah dekat dengan orang asing. Bahkan termasuk sulit. Tapi enggak tahu ya saya juga heran kenapa dengan santainya orang itu membawa anak saya, dan Sintya juga enggak ketakutan. Entah dibujuk atau gimana, saya juga bingung," tutur Ridwan.

Sementara itu, Ridwan mengaku masih mendapat teror melalui pesan singkat (SMS) yang meminta dirinya mencabut pelaporan atas kasus penculikan anaknya. Pesan ini diterimanya langsung lewat telepon genggamnya.

Teror tersebut tidak dihiraukan oleh Ridwan dan dia tetap membiarkan kepolisian mengusut kasus ini. Bahkan, dirinya telah melaporkan teror SMS tersebut untuk membantu pengungkapan pelaku di balik penculikan putrinya.

Tia adalah salah anak satu yang beruntung. Dia bisa pulang ke rumah dengan selamat dan sehat tanpa ada tanda-tanda kekerasan maupun pelecehan seksual pada tubuhnya.

Namun, banyak bocah korban penculikan tak seberuntung Tia. Tak sedikit di antara mereka yang tubuhnya penuh luka mengenaskan ketika ditemukan. Seperti bocah Iqbal Syahputra saat diculik mantan kekasih ibundanya.

 

3 dari 4 halaman

Diculik Mantan Kekasih Ibu

Diculik Mantan Kekasih Ibu

Suatu pagi pada awal April 2014 lalu, Yuliana yang hendak berangkat bekerja tengah menunggu bus di halte Sawah Besar. Mungkin dia tak sadar, hari itu wanita tersebut bakal jadi dewi penyelamat bagi seorang bocah, Iqbal Saputra, yang belakangan diketahui korban penculikan dan penyiksaan dari mantan kekasih ibundanya.

Pukul 09.00 WIB, Yuliana melihat bocah yang kala itu berusia 3,5 tahun berada dalam kondisi yang amat payah. Sekujur tubuhnya penuh luka, dari luka bakar hingga luka sayatan. Maka warga Tambora itu pun menghampiri Iqbal. Saat itu bocah itu tengah bersama seorang pria, Dadang Supriyatna.

Tanpa ada rasa curiga terhadap Dadang, Yuliana bermaksud mengantar Iqbal ke klinik terdekat untuk diperiksa. Namun ditolak oleh Dadang. Belum selesai bertanya lebih jauh Dadang membawa Iqbal masuk ke dalam Transjakarta.

"Saya nanya-nanya kenapa enggak dibawa ke rumah sakit? Saya tanya kenapa? Dia bilang disiksa ibu tiri," ungkap Yuliana pada 3 April 2014.

Iqbal pun, sambung Yuliana, hanya terus menangis tanpa bisa bicara. Sesaat, bocah itu lalu menghilang dari pandangan Yuliana. Saat itu pula wanita tersebut menaiki busnya yang berada di belakang Transjakarta yang ditumpangi Iqbal dan Dadang.

Kuasa Tuhan, seperti sudah takdir, Yuliana kembali bertemu dengan Dadang dan Iqbal. Namun kali ini kondisi Iqbal dilihatnya makin parah.

"Saya ketemu lagi di Stasiun Kota. Saya tanya kok kenapa enggak dibawa ke rumah sakit? Ayo ke rumah sakit harus cepat ditangani karena kejang-kejang. Katanya nggak bisa, soalnya dari Karawang," tutur dia.

(Liputan6 TV)

Selanjutnya, Yuliana mengambil inisiatif untuk mengantarkan Dadang dan Iqbal ke klinik terdekat. Alasannya sederhana. Saat itu Yuliana berpikir untuk diperiksa di klinik atau puskesmas, seorang anak butuh orangtua yang berada di Jakarta.

"Di dalam hati saya, mungkin harus ada orang Jakartanya. Ya sudah saya tawarin ayo sama saya aja, Pak. Kemanusiaan aja dan kasihan," kata Yuliana.

Tiba di Puskesmas Pademangan, bocah malang itu langsung diperiksa dokter jaga. Dokter yang memeriksa luka Iqbal menaruh curiga. Ini karena luka-luka di sekujur tubuh Iqbal terbilang baru.

Dari situ anggota Polsek Pademangan, Bripka Putra, muncul. Ia mendapat laporan dari satpam puskesmas bahwa ada anak yang dicurigai korban penganiayaan. Dadang langsung dimintai keterangan. Dan untuk Iqbal langsung dibawa ke RSUD Koja untuk mendapatkan perawatan.

Sebanyak 6 dokter spesialis harus menangani perawatan Iqbal. Di antaranya, dokter anak, dokter ortopedi, dokter urologi, dokter bedah umum, dokter penyakit dalam, dan dokter syaraf. Sekujur tubuhnya pun dipenuhi selang.

Belakangan diketahui, Iqbal merupakan korban penculikan Dadang, mantan kekasih ibundanya, Iis Novianti. Dia diculik dari sang ibu saat tengah berjualan teh. Dadang diduga menculik lantaran dia merasa sakit hati oleh Iis yang dianggap berselingkuh.

Usai diculik, Iqbal dijadikan pengemis oleh Dadang di wilayah Jakarta. Karena sering menangis, korban dianiaya dengan disundut api rokok, disetrika, bahkan alat kelaminnya diinjak hingga terluka parah. Tulang lengan kanan Iqbal juga patah karena dibanting oleh Dadang.

Sejak saat itu Iqbal jadi perhatian nasional. Sejumlah tokoh menjenguknya.

Iqbal pun berhasil pulih pada Mei 2014 dan dikembalikan ke keluarga. Sementara Dadang dijerat dengan Pasal 80 dan UU RI Nomor 23 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak. Dia divonis 13 tahun penjara dan dikenakan denda Rp 60 juta subsider 6 bulan kurungan.

Dalam persidangan, hakim mengungkap Dadang menyiksa Iqbal dengan menusuk dada bocah itu menggunakan paku panas sebanyak 15 kali, menggunting kulit kemaluan, menjedotkan kepala ke dinding, dan menendang kemaluan hingga bengkak serta bernanah.

 

4 dari 4 halaman

Mengapa Anak-Anak?

Mengapa Anak-Anak?

Maraknya kasus-kasus penculikan terhadap anak-anak mengingatkan para orangtua untuk waspada terhadap keselamatan putra-putri mereka. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, mengungkapkan, rata-rata ada 100 kasus penculikan anak setiap tahunnya.

"Rata-rata 100 kasus per tahun," kata Aris kepada Liputan6.com pada 21 Juli 2015.

Hal ini bukannya tanpa alasan. Pakar kriminologi Reza Indragiri Amriel menuturkan, ada 3 hal yang menjadi penyebab mengapa anak-anak itu rentan menjadi korban penculikan. 

"Yang pertama anak dijadikan tenaga kerja paksa. Misalnya bekerja di rumpon gitu ya, di tempat penangkapan ikan di tengah laut. Atau di pertambangan-pertambangan tradisional di daerah pedalaman yang tidak terjangkau oleh orang," jelas Reza kepada Liputan6.com.

Selain itu, kata dia, praktik prostitusi juga menjadi alasan lainnya mengapa anak-anak rentan menjadi korban penculikan. Ia menjelaskan hingga saat ini, Indonesia merupakan negara yang dijadikan sasaran wisata seks anak nomor satu bagi para paedofil dari Australia.

"Dan yang ketiga dimanfaatkan untuk organ. Transplantasi organ. Itu semua faktor pemanfaatan anak dari hasil penculikan seperti itu," terang Reza.

"Terlepas apakah ada pembuktian secara medis maupun mitos tetapi memang tubuh anak dianggap masih bersih, bebas dari zat terlarang, bebas dari polusi, bebas kimia, dan seterusnya. Dengan asumsi seperti itu, 'laris' memang tubuh anak menjadi komoditasnya," kata pria yang menamatkan gelar sarjana psikologinya di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1998 itu.

Teknik Menjerat Korban

Lalu bagaimana teknik para penculik ini menjerat korbannya?

"Ada yang namanya grooming behavior. Itu tidak memakai kekerasan, tapi pakai bujuk rayu. Mengiming-imingi anak dengan janji tertentu. Tidak mesti dengan uang, permen, dan sejenisnya, tapi juga dengan pertemanan, kehangatan, yang bisa melenakan anak itu," ucap dia.

Reza menilai, tak ada ciri-ciri khusus dari penculik. Ini karena tak semua penculik menggunakan teknik yang sama dalam melakukan aksinya.

"Kalau seluruh penculik anak pakai cara kekerasan, mudah bagi kita untuk melihat cirinya. Misal tampangnya sadis, brutal, dan bermusuhan dengan anak. Tapi seperti saya bilang tadi di bagian paling awal, karena modus yang terbanyak itu menggunakan modus grooming behavior, maka sulit bagi kita untuk memastikan apakah orang yang kita ajak bicara ini penculik atau bukan," terang Dosen Psikologi Forensik di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian sejak 2004 silam tersebut.

Namun, kata dia, bukan berarti tidak ada yang dapat dilakukan para orangtua untuk menjaga anak-anaknya dan menjauhkan mereka dari jerat penculik. Menurut dia, yakni dengan tidak memercayai siapa pun.

"Kalau secara konseptual ya DTA aja, don't trust anyone. Apalagi hasil statistik kan menunjukan bahwa ternyata pelaku kekerasan pada anak itu justru adalah orang dekat sendiri. Kalau secara teknis misalnya, unit PPA yang ada di tingkat polres itu idealnya diturunkan ke tingkat polsek, jadi masyarakat bisa cepat melaporkan," tutur dia.

Menurut dia, sebenarnya anak-anak memiliki mekanisme pertahanam diri terhadap orang asing di sekitar mereka. Yakni rasa malu, takut, dan segan ketika berhadapan dengan orang lain.

Oleh karena itu, Reza mengingatkan, orangtua sebaiknya peka setiap kali sang anak merasa cemas atau takut. Ketika melihat anak-anak merasa takut dan cemas maka orangtua perlu untuk memberikan perlindungan ekstra. (Ndy/Ein)

Video Terkini