Liputan6.com, Surabaya - Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Jawa Timur, Effendi Choirie, memastikan akan mengangkat 'bendera putih' untuk ikut pilkada serentak di 4 daerah di Jatim.
Politisi yang akrab disapa Gus Choi itu mengatakan bahwa Nasdem masih memiliki integritas (moral) politik, sehingga enggan mengusung 'calon boneka'. Untuk itu Nasdem tidak akan mendukung calon mana pun.
"Daripada ikut mendukung 'calon boneka', lebih baik Nasdem kibarkan bendera putih atau tidak mendukung siapa pun," ucap Gus Choi di Surabaya, Rabu (29/7/2015).
Dia menjelaskan bahwa keempat daerah di Jawa Timur tersebut, yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Kediri.
"Pada intinya, di empat daerah tersebut tidak ada pasangan calon yang memenuhi standar moral Partai Nasdem, sehingga lebih baik kami kibarkan 'bendera putih' saja," tukas Effendi Choirie.
Baca Juga
Sikap Nasdem tersebut menunjukkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), khususnya di Kota Surabaya gagal mengusung calon lain untuk menjadi lawan pasangan incumbent Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana yang diusung PDIP.
"Hingga batas akhir masa pendaftaran di KPU Kota Surabaya, hanya ada satu pasangan calon, sehingga Pilkada Kota Surabaya terancam mundur 2017 mendatang," pungkas Gus Choi.
Advertisement
Selanjutnya: Kaderisasi Tak Berjalan?
Kaderisasi Tak Berjalan?
Kaderisasi Tak Berjalan?
Sementara, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Hariyadi, menilai maraknya 'calon boneka' pada pilkada serentak tahun 2015 karena proses kaderisasi kepemimpinan di civil society dan parpol tidak berjalan dengan baik.
Akibatnya, imbuh dia, pasangan incumbent atau petahana menjadi sangat perkasa alias tanpa tanding, dan siapa pun yang maju melawan pasangan incumbent pasti kalah.
"Jadi pesaing incumbent itu maju untuk kalah, sehingga tak perlu bersusah payah. Oleh masyarakat dinamakan 'calon boneka' itu juga ada benarnya juga," ujar Hariyadi di Surabaya, Rabu 29 Juli 2015.
Ia menambahkan, fenomena 'calon boneka' merupakan bagian dari politik. Namun, munculnya calon 'bayangan' itu cenderung transaksional (politik uang) yang dilakukan oleh pasangan calon maupun parpol.
Peraturan KPU
"Hal itu dipicu karena adanya PKPU No 12 Tahun 2015 yang dinilai memicu tumbuh suburnya 'calon boneka' dan politik transaksional dalam pilkada serentak," kata Hariyadi.
Menurut dia, hal pertama yang memicu munculnya calon boneka dan politik transaksional adalah adanya pasal tentang dibolehkannya parpol bertikai (dualisme) mengusung calon asalkan mendapat persetujuan dari kedua kubu.
"Ini jelas memicu politik transaksional karena pasangan calon yang hanya mendapat persetujuan satu kubu parpol bertikai harus berusaha keras mendapat persetujuan dari kubu lainnya, dan ujung-ujungnya tentu tawaran duit," sambung Haryadi.
Yang kedua adalah adanya pasal tentang jika hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar di KPU, maka jadwal pilkada serentak diundur sampai tahun 2017.
"Ini juga memicu untuk memunculkan 'calon boneka' sebagai lawan, dan tentunya juga ada politik transaksional," lanjut Haryadi.
Ia pun menilai munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan anggota DPR, DPD dan DPRD yang akan maju pada pilkada harus mundur dari jabatannya setelah resmi ditetapkan sebagai pasangan calon, bukan menjadi pemicu munculnya 'calon boneka' di pilkada serentak.
"Justru putusan MK itu menghapus adanya spekulasi dan memberikan kepastian pada pasangan calon yang maju pilkada supaya bersungguh-sungguh tak menjadi 'calon boneka'," pungkas Haryadi. (Ans/Mar)
Advertisement