Liputan6.com, Surabaya - Menjelang digelarnya Muktamar ke-33 NU yang akan diadakan pada 1-5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur, beberapa nama bermunculan untuk menjadi kandidat ketua umum Tanfidziyah dan Rais Aam atau ketua dewan syuro.
‎"Sejumlah nama yang muncul untuk menjadi kandidat Ketua Umum Tanfidziyah PBNU‎, di antaranya KH Said Aqil Siraj, KH Salahuddin Wahid, H As'ad Said Ali, dan M Adnan," kata Pengurus Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda (PW GP Ansor) Jawa Timur, Bidang Departemen Pengembangan Pesantren bernama Hady, Kamis (30/7/2015).
Sedangkan untuk kandidat Rais Aam, muncul nama KH Mustofa Bisri atau Gus Mus (Pjs Rais Aam PBNU), KH A Hasyim Muzadi, dan KH M Thalhah Hasan. "Kalau saya dengar, nama-nama beliau itu yang mulai santer dibicakan," imbuh dia.
Sejarah Kepengurusan NU
‎Dia juga menceritakan perjalanan kepengurusan PBNU mulai pertama hingga akhir. Rais Aam pertama pada 1875-1947 adalah KH Hasyim Asy'ari yang juga sebagai pendiri NU. Pemilik sapaan Kiai Hasyim atau Mbah Hasyim ini juga mendapat sebutan Hadratus Syeikh atau Maha Guru oleh para santrinya.
Kiai Hasyim besar di Pesantren Gedang, Jombang, Jawa Timur diasuh oleh kakeknya, Kiai Utsman. Keilmuannya juga tidak lepas dari peran sang ayah, Kiai Asy'ari.
Kiprah Kiai Hasyim di NU cukup besar, termasuk menulis berbagai kitab yang menjadi acuan di masyarakat NU. Salah satunya Kitab Ahlissunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang menjadi pengajaran Islam di Nahdlatul Ulama.
Di tahun 1926, KH Hasyim bersama KH Hasan Gipo atau Hasan Basri, saudagar yang juga kerabat Sunan Ampel melakukan berbagai terobosan untuk memajukan NU.
Kemudian, setelah KH Hasyim Asy'ari wafat 1947, diganti oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Sosok ini dikenal aktif berdakwah lewat surat kabar Soeara Nahdlatul Oelama dan Berita Nahdlatul Ulama.
"Riwayat kependidikannya, Kiai Wahab belajar di Mekah, Arab Saudi. Dan di antaranya belajar kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani. Kepengurusannya di NU tercatat sampai 1952," lanjut Hady.
Selanjutnya, pada 1952-1984, jabatan Ketua Umum PBNU dipegang oleh KH Idham Khalid asal Kalimantan Selatan. Dia juga tercatat sebagai Wakil PM Republik Indonesia Serikat di Kabinet Ali Sostroamidjojo II (1956-1957) dan Kabinet Djuanda (1957-1959).
"KH Idham Khalid cukup lama menjabat Ketua Umum PBNU, yakni 1952-1984. Dan, 3 kali berpasangan dengan Rais Aam yang berbeda," ujar dia.
‎
Pada 1971-1980, kepengurusan dilanjutkan oleh KH Bisri Syansuri yang juga menjadi Ketua Majelis Syuro PPP.
Kemudian pada 1980, kepemimpinan Rais Aam berpindah ke KH Muhammad Ali Maksum hingga tahun 1984. "KH Ali Maksum merupakan pengasuh Pesantren Krapyak, Jogyakarta," jelas dia.
Jabatan selanjutnya dipegang KH Achmad Muhammad Hasan Gus Dur sebagai Ketum PBNU juga cukup lama yakni sejak 1984-1999. Dan berakhir saat Gus Dur terpilih menjadi Presiden ke-4 RI.
Setelah dijabat KH Achmad Hasan tahun 1991. Rais Aam dipimpin oleh pejabat sementara KH Ali Yafie, selama satu tahun.
KH Mohammad Ilyas Ruhiyat menjabat sampai 1999. Kemudian diganti, KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi.
"KH Sahal wafat pada 2013 dan digantikan pejabat sementara, KH Mustofa Bisri. Sementara kepemimpinan KH Hasyim Muzadi berakhir tahun 2010 pada Muktamar ke-32, digantikan oleh KH Said Aqil Siroj sampai saat ini," pungkas Hady. (Mvi/Yus)