Liputan6.com, Jombang - Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyah (masalah kekinian) Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU), juga membahas hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang diharamkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa pekan lalu.
‎Sidang Bahtsul Masail tentang BPJS Kesehatan diikuti puluhan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) peserta Muktamar NU. Sidang dipimpin Ketua LBM PWNU Jatim KH Romadlon Khotib.
Karena menjadi topik kontroversial setelah diharamkan MUI, Wakil Ketua Umum MUI KH Makruf Amin yang hadir pun diberikan kesempatan untuk menjelaskan fatwa haram BPJS tersebut.
KH Makruf Amin menjelaskan, MUI mengharamkan BPJS Kesehatan karena tidak beres secara prosedural dan substansial. Sesuai undang-undang, di antaranya, suatu produk bisa dianggap bersistem syariah jika mendapatkan opini kesyariaahan dari Dewan Syariah Nasional.
"Nah, BPJS Kesehatan tidak mengajukan untuk meminta fatwa atau opini kesyariaahan ke Dewan Syariah Nasional," kata KH Makruf Amin, Jombang, Jawa Timur, Selasa 4 Agustus 2015.
Sedangkan secara substansial, lanjut Makruf, ada beberapa permasalah terkait akadnya yang bertentang dengan syariah. "Tidak jelas uang yang dikumpulkan dari siapa, kalau rugi siapa yang menanggung."
"Dan yang terakhir, di mana uang yang dikumpulkan itu didepositkan. Ternyata di bank konvensional, sehingga mengandung riba," tandas Makruf.
Sementara Boleh
Lalu bagaimana dengan produk BPJS Kesehatan yang sekarang sudah berjalan? Makruf mengatakan, untuk sementara hukumnya boleh (mubah), demi tercapainya hajat orang banyak (lil-hajah). Cuma, pemerintah tetap wajib membuat produk jaminan sosial kesehatan serupa yang menggunakan sistem syariah.
"Bukan berarti mengganti BPJS yang sudah ada, tapi bisa diubah sistemnya," jawab dia.
Nah, dalam sidang Komisi Bahtsul Masail, PBNU sendiri menawarkan BPJS Kesehatan sama dengan konsep Syirkah Ta'awun atau tolong-menolong dalam hukum Islam.
Karena itu, kata Makruf, hukumnya boleh atau mubah. Cuma, perdebatan di antara peserta Bahtsul Masail terjadi pada masalah di mana uang yang dikumpulkan penyetor iuran BPJS disimpan atau diinvestasikan di bank konvensional, sebagian peserta berpendapat haram.
PBNU sendiri mengakui dana BPJS Kesehatan yang terkumpul dari masyarakat disimpan di bank konvensional.
"Hingga saat ini, terkumpul dana iuran BPJS Kesehatan Rp 147 triliun disimpan di bank konvensional, dan memang rawan diselewengkan, tapi faktanya tidak," kata Ketua Lembaga Kesehatan PBNU dr Imam Rosyidi.
Namun, yang perlu dicatat BPJS Kesehatan berbeda dengan asuransi kesehatan swasta yang mengambil keuntungan dari iuran nasabahnya. Berdasarkan catatan yang diperolehnya, BPJS Kesehatan merupakan program yang tidak mengambil keuntungan, yakni asuransi atau jaminan sosial nirlaba.
"Sesuai yang disampaikan Kiai Makruf Amin, sementara tidak apa-apa sebelum produk syariah ada," pungkas Imam. (Rmn/Rjp)
Advertisement