Liputan6.com, Jakarta - ‎Nahdlatul Ulama (NU) baru saja menggelar Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Dalam ajang tersebut, KH Ma'ruf Amin dan KH Said Aqil Siradj ditetapkan sebagai Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2015-2020‎.
Namun saat proses Muktamar yang digelar di Jombang, Jawa Timur, sempat ‎diwarnai isu perpecahan bahkan muktamar tandingan. Seorang kandidat calon ketua umum tidak menerima proses dan hasil muktamar itu, bahkan meminta diulang.
Baca Juga
Kader NU yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, tak perlu ada lagi perdebatan atas hasil Muktamar NU di Jombang, terlebih akan menggelar muktamar tandingan karena hanya akan sia-sia.
Advertisement
"Dulu ada orang yang bernama Saleh Khalid dan kawan-kawan mendirikan NU baru pada tahun 80-an, itu bubar sendiri meskipun gerakannya gencar. Lalu habis Muktamar Cipasung ada KPNU atau Komite Penyelamat NU, itu ada Abu Hasan, bubar juga. Ini kalau dipaksakan muktamar lagi itu kalau dibiarkan akan bubar juga," kata ‎Mahfud di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (8/8/2015).
Menurut dia, Muktamar NU tidak boleh dipahami sebagai proses hukum, melainkan proses silaturahmi yang juga berwarna proses politik. Sebab itu, dia menilai hasil muktamar harus diterima sebagai fakta.‎
"Kan lebih baik tidak usah muktamar ulang dan menggugat ke pengadilan. Yang ada sekarang diterima saja sebagai fakta, meskipun ada yang tidak puas itu biasa. Itu artinya NU besar karena ada yang tidak puas kepada hasil muktamarnya," tutur dia.
Menteri Pertahanan era Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu pun berharap, para kiai NU yang masih berbeda pendapat terhadap hasil muktamar segera bersatu kembali untuk membangun NU agar terus lebih baik.
"Jadi sebaiknya selesai muktamar ya selesai perbedaan dan begini NU itu mendukung demokrasi dan demokrasi itu salah satunya adalah sportivitas. Nah sportivitas itu artinya mengakui yang menang," tukas Mahfud.
Tak Ada Intervensi
Selain itu, Mahfud membantah bahwa Muktamar NU telah diintervensi pihak pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Muktamar NUÂ ditegaskan jauh dari intervensi pemerintah maupun partai politik tertentu yang ingin mengendalikan NU.
"Untuk Muktamar Jombang itu saya tidak melihat ada intervensi dari luar," kata Mahfud.
Menurut Mahfud, perpecahan yang terjadi di NU pada saat Muktamar ke-33 yang digelar 1-5 Agustus 2015 kemarin, murni hanya karena adanya perbedaan pandangan dan orientasi para pimpinan NU.
Mahfud menambahkan, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang mengusung nilai-nilai demokrasi, seluruh kader NU harus legowo dan menerima dengan hasil muktamar.
"Kalau yang Anda maksud pemerintah yang intervensi, pemerintah juga saya lihat tidak ikut campur dan membiarkan betul NU berjalan dengan semestinya, tidak ada operasi yang saya lihat.‎ Jadi saya lihat memang ada perbedaan orientasi saja. Tidak ada pihak luar intervensi NU," tandas Mahfud. (Ali/Ans)