Liputan6.com, Bengkulu - Selama pengasingan di Bengkulu, Preisden pertama RI Sukarno selalu memperluas pergaulan di semua kalangan masyarakat. Sebagai negarawan, bapak Proklamator itu banyak bergaul dengan ulama Muhammadiyah yang memang berkembang pesat di Bengkulu.
Bahkan seorang Kiai bernama Haji Ahmad Dahlan, tokoh Muhammadiyah Sumatera Barat, beberapa kali singgah ke Bengkulu untuk berdiskusi serius dengan pria yang karib disapa Bung Karno itu. Diskusi keduanya mengangkat isu kebangsaan.
Ini tergambar dalam beberapa foto yang dipajang di rumah kediaman resmi Bung Karno selama pengasingan di Bengkulu, pada 1938 hingga 1945. Terlihat Bung Karno dan Ahmad Dahlan berdiskusi dengan beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat dengan serius.
Advertisement
Kepala penjaga cagar budaya Bengkulu Sugrahan Nurdin mengatakan, beberapa bukti fisik keterlibatan Bung Karno dengan gerakan Muhammadiyah Bengkulu masih terjaga hingga saat ini. Bukti-bukti itu memperlihatkan bagaimana Bung Karno mampu merangkul para tokoh agama dalam sebuah diskusi yang akan dijadikan pertimbangan pergerakan menuju Indonesia Merdeka.
"Jika di rumah, Bung Karno berdiskusi khusus tentang kebangsaan dan politik. Jika ingin bertemu dengan para alim ulama, dia terbiasa berkunjung ke rumah mereka menggunakan sepeda," ujar Sugrahan di Bengkulu, Minggu (9/8/2015).
Satu di antara bukti sejarah kedekatan Bung Karno dengan tokoh Muhammadiyah yang masih berdiri hingga saat ini adalah Masjid Jamik, di pusat Kota Bengkulu.
Masjid yang dimanfaatkan warga untuk beribadah dan melakukan kegiatan keagamaan ini merupakan hasil karya arsitektur Bung Karno.
Selain itu, di rumahnya Bung Karno juga menyimpan sedikitnya 300 judul buku yang mayoritas berisi tentang pengetahuan keagamaan, politik, dan beberapa judul buku tentang perjudian.
Pemerhati masalah sosial Bengkulu, H Kaharuddin Taher B.Sw mengatakan, meski dekat dengan tokoh agama, Bung Karno tidak pernah meninggalkan Nasionalisme. Banyak orang mengira bahwa sejak Bung Karno memperhatikan agama, Presiden pertama RI itu telah melepaskan haluan nasionalisme. Padahal itu salah.
"Bung Karno tidak pernah melepaskan haluan nasionalisme. Sebab Islam tidak bertentangan dengan Nasionalisme. Islam itu menebalkan jiwa nasionalisme Bung Karno, bukan menjauhkannya. Tidak ada ajaran beliau yang melunturkan rasa cinta kepada bangsa karena pelarangan oleh Islam," jelas Kaharuddin.
Itulah sebabnya Bung Karno sering bertentangan dengan sebagian orang yang berfaham nasionalisme kebangsaan yang sempit. Nasionalisme Bung Karno, kata Kaharuddin, tidak pernah meninggalkan kemegahan bangsa dan negeri sendiri di atas bangsa lain.
"Nasionalisme Bung Karno lebih mementingkan kesejahteraan manusia Indonesia daripada kemegahan nama Indonesia itu sendiri,” pungkas Kaharuddin Taher. (Sun/Mut)