Sukses

Saat Air Menjadi Barang Mewah di Bumi Nusantara

Warga di sejumlah daerah harus berjalan kaki beberapa km demi mendapat air bersih. Puncak El Nino belum terjadi.

Liputan6.com, Jakarta - "Jangan menyerah", untaian kata itu tertanam di benak Aninda, warga Desa Mrican, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Bersama adiknya, dia rela berjalan sejauh 3 kilometer, di bawah terik Matahari demi mendapat air bersih yang akhir-akhir ini berubah menjadi barang mewah.

Sejak Juli lalu, desa tempat tinggalnya dilanda kekeringan parah. Sungai di atas bukit, yang airnya keruh dan kotor, jadi satu-satunya sumber kehidupan.

Sebulan belakangan, warga harus memilih, berpeluh demi mendapat air atau minum cairan lumpur untuk melepas dahaga.

Kekeringan juga dialami warga Desa Arosbaya, Bangkalan, Jawa Timur. Di sana, hanya tinggal beberapa sumur warga yang masih mengeluarkan air. Itu pun airnya sudah mulai surut dan kecoklatan. Untuk menjernihkannya, warga harus mengendapkan hingga 3 jam.

Sumur di tengah ladang yang biasanya dipakai untuk menyiram tanaman atau memberi minum ternak, kini untuk minum dan memasak.

Kekurangan air akibat El Nino (Reuters)

Di Mlancu Barat, Kediri, Jawa Timur, perempuan-perempuan "perkasa" berjalan kaki sejauh 2 kilometer menembus hutan jati, untuk mendapatkan air bersih.

Sudah sejak Juni lalu mereka melakoninya. Belum ada tanda-tanda kemarau akan berhenti. Pasokan dari pegunungan melalui pipa sudah berhenti, karena airnya keruh dan kotor.

Meski tegar, warga berharap ada pasokan air bersih dari PDAM. Sebab, jika musim kemarau terus berlanjut, sumber air pun mulai habis, sehingga tak ada lagi pasokan air bersih.

Sementara itu di Jakarta, Presiden Joko Widodo atau Jokowi akhir-akhir ini sibuk merapatkan barisan untuk membahas dampak kekeringan berkepanjangan yang dipicu El Nino, anomali iklim di Pasifik Selatan.

Saat fenomena 'bocah lelaki' itu terjadi, angin muson pembawa hujan bisa datang terlambat atau tidak muncul sama sekali.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkapkan, pemerintah terus berusaha mengantisipasi dampak kekeringan dengan berbagai cara, seperti mengirim pompa, bangun irigasi, dan embung.

Menurutnya, dampak kekeringan akan melanda beberapa daerah, termasuk di Pulau Jawa. Dia menyebut paling parah dari imbas kekeringan yakni penurunan produksi padi bakal terasa di 3 wilayah.

"Paling parah di Indramayu, Bojonegoro, dan Demak. Tapi kita sudah mengambil langkah antisipasi dengan cara itu tadi," ucap Amran.

Amran mengimbau masyarakat, khususnya petani, tidak khawatir dalam menghadapi kekeringan. Sebab, pemerintah terus melakukan upaya antisipatif.

"Kepada seluruh sahabatku petani Indonesia tidak usah khawatir atau panik menghadapi kekeringan. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret sejak Desember tahun lalu," kata Amran.

2 dari 3 halaman

Puncak El Nino


Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, sejak tahun 1950, setidaknya sudah terjadi 22 kali El Nino di dunia.

Seperti dikutip laman resmi BMKG yang ditulis Jumat, 31 Juli 2015, dampak El Nino terparah terjadi pada 1982-1983 dan 1997-1998. Saat itu El Nino membuat sebagian belahan bumi kekeringan panjang dan sebagian yang lain justru mengalami musim hujan yang panjang.

Dampak global El Nino membuat sebagian wilayah Asia seperti Indonesia dan sebagian wilayah Australia akan mengalami kemarau panjang. Sebaliknya, Benua Amerika terutama bagian utara mengalami musim hujan cukup panjang.

Untuk wilayah Indonesia, fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian wilayah Tanah Air berkurang. Menurut BMKG, hujan itu sebenarnya sudah datang pada September-Oktober tapi karena adanya fenomena El Nino akan mundur bulan November. Ini artinya musim kemarau akan semakin panjang.

Kekeringan akibat dampak El Nino (Reuters)


‎"BMKG melihat baik itu dari data-data fenomena angin, juga kolam panas yang terjadi di Pasifik tengah dan Pasifik selatan. Kami melaporkan potensi El Nino itu masih dalam proses menguat.‎ Proses penguatan masih terjadi. ‎Puncaknya yaitu Agustus-September," ‎ujar Kepala BMKG Andi Eka Sakya usai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi, Kamis 6 Agustus 2015.

Dia memaparkan El Nino yang terjadi berujung pada bencana kekeringan di beberapa wilayah di Indonesia. Fenomena kekeringan terjadi di wilayah-wilayah di hampir sebagian wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Selatan hingga Papua.

"Dampak yang kemudian mungkin terjadi itu di mana? Itu kita mengatakan di daerah Sumatera Selatan bagian timur, Jawa sampai kemudian NTT. Dan sedikit wilayah Kalimantan Selatan bagian timur, ini kecil sekali. Kemudian Sulawesi bagian selatan, Sulawesi Tenggara itu juga bagian selatan, kemudian sedikit wilayah selatan di Papua," kata Andi.

Menurut dia, musim kemarau di beberapa tempat di Indonesia, terutama di sebelah selatan khatulistiwa pada 2015 ini relatif panjang. Ini merupakan dampak dari fenomena El Nino yang telah mencapai level moderate. Bahkan diprediksi akan menguat hingga September.

"Itu terjadi memang sebagian besar di selatan, jadi utamanya selatan khatulistiwa," jelas dia.

3 dari 3 halaman

Kekeringan Makin Luas

Deputi Penanganan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tri Budiarto mengatakan, kemarau di Indonesia menyebabkan 2 dampak, yakni kekeringan yang bisa mengakibatkan kebakaran. Dan kekeringan yang berdampak pada sulitnya kebutuhan air dan pangan. Keduanya kini sedang dialami Indonesia meski tidak sepenuhnya karena El Nino.

"Sedikit banyak berpengaruh. Dalam cakupan makro, global warming, El Nino tentu punya makna. Secara mikro tentu keseimbangan alam, bagaimana komposisi lahan hijau dengan lahan tidak hijau. Sekarang susah sekali kita mencari lahan. Sekarang sudah menjadi jalan aspal, tembok, rumah semua. Sehingga serapan air hujan menjadi kecil sekali. Di Jakarta saja air yang masuk ke tanah cuma 18%. Sisanya lebih banyak dibuang, sementara gotnya enggak bagus," tutur Tri kepada Liputan6.com.

BNPB terus mengawasi kondisi kekeringan yang terjadi di Indonesia. Sebut saja Sumatra dan Kalimantan yang kini terus bermunculan titik api karena kemarau. Sementara hal yang lebih besar, yakni krisis air dan pangan banyak terjadi di Jawa hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).

Karena itu, lanjut Tri, pihaknya akan menggelar pertemuan dengan Kementerian Pertanian untuk membahas dampak kekeringan ini Senin besok. Dalam pertemuan itu, akan diambil sejumlah keputusan, termasuk jenis bantuan yang bisa dilakukan untuk menanggulangi sawah dan perkebunan warga yang kering akibat kemarau panjang.

Kekeringan akibat dampak El Nino (Reuters)

 

"Kaitan dengan kebutuhan air minum dan air untuk rakyat, satu dua bulan ini kami sudah drop air banyak di seluruh daerah, termasuk di desa terpencil. Kemudian mulai minggu depan tentu bicaranya sudah bagaimana bisa mengairi sawah," kata dia.

"Nah, Kementerian Pertanian tentu punya anggaran untuk bikin pompa dan sebagainya, lalu melihat kemungkinan dibuat hujan buatan atau tidak. Kalau mungkin kami akan bantu membikin hujan buatan. Kalau secara teknik tidak bisa, tentu bor air lebih bisa menjawab permasalahan."

Masalah yang dialami Indonesia saat ini tentu semakin menipisnya lahan hijau sebagai daerah resapan air. Hal ini juga berdampak pada semakin jauhnya sumber air tanah yang dapat dijangkau warga. Akibatnya lahan-lahan pertanian tentu semakin sulit untuk dialiri air.

"Musim kemarau mengakibatkan penguapan yang tinggi. Penguapan tinggi sementara cadangan air sedikit, dampak pertama yang akan dirasakan adalah cadangan air kita semakin ke dalam. Kalau semakin ke dalam cadangan air minum kita semakin menipis," imbuh Tri.

Masalah lain adalah pertanian yang memerlukan air dalam jumlah banyak. "Maka kegagalan panen, kegagalan tanaman tentu jadi persoalan juga kalau kita tidak sediakan air dengan baik. Kami nanti mencoba kemungkinan membuat hujan buatan, kalau secara teknik membantu kami akan bantu untuk mengairi lahan," imbuh Tri.

Menurut Tri, koordinasi dengan pemerintah daerah di Indonesia sudah sangat baik. BNPB lagi-lagi sifatnya hanya membantu apa yang dibutuhkan warga untuk menanggulangi kekeringan di wilayah masing-masing. Sehingga kerja sama antara daerah dan pusat dapat terjadi dengan baik.

"Prinsip inisiatif lokal menjadi penting. Kita tanya perlu apa? Air minum, kita kirim. Di sana ada mata air tapi pipanya putus Pak? Berapa? 10 meter, ya sudah beli, jadi lagi. Bor 5 rusak, betulin, jadi lagi. Segala penjuru. Daerah kan lebih tahu persoalannya. Jangan kita paksakan general program, itu sudah bukan zamannya," ucap Tri.

Sejauh ini daerah yang paling siap menghadapi kekeringan adalah Jawa Tengah. Tri mengatakan, seluruh kabupaten kota di Jawa Tengah sudah memiliki anggaran sendiri untuk menanggulangi kekeringan ini. BNPB tinggal membantu apa yang dirasa masih kurang dengan permintaan dari memerintah daerah masing-masing.

"APBD kabupaten/kota punya anggaran cukup. Jawa Tengah misalnya fungsi dari Kali Sidenan juga bisa digunakan. Lalu provinsi juga mem-back up. Kalau mereka sudah habis dananya, BNPB akan membantu. Kita semuanya bergerak. Pulau Jawa sangat luar biasa, khususnya Jawa Tengah sangat luar biasa sekali. Daerah lain sangat terbatas anggarannya tentu nanti akan kita back up. Kan masing masing daerah kan berbeda," sambung Tri.

Saat ini memang dampak kekeringan sudah semakin luas. Namun, Tri mengingatkan dampak kekeringan di Indonesia sekarang ini belum sampai titik terparah. Sejumlah wilayah negara lain dinilai jauh lebih parah. Sebut saja kawasan Afrika yang kini mengalami kekeringan yang sangat mengkhawatirkan.

"Saya kira belum termasuk parah. Di Afrika, mereka menggali sampai 100 meter air tidak muncul. Itu luar biasa, nyari makan begitu susah, karena air tidak ada, masak nasi saja tidak bisa. Jangan sampai begitulah. Karena sejarahnya dulu zaman purba Afrika itu hutan lebat. Sekarang jadi gurun pasir. Kita jangan sampai gitu lah,” ujar Tri.

Menurut Tri, kemarau di Indonesia akan berakhir pada Oktober mendatang. Sehingga warga tidak perlu khawatir. Pemerintah pun akan menyiapkan segala sesuatu untuk dapat memenuhi kebutuhan sampai musim hujan datang. (Ein)