Sukses

"Rumah Tak Bertuan" Tempat Lahirnya Teks Proklamasi

Rumah itu tidak terlalu besar untuk ukuran sebuah museum, namun dari tempat itulah muncul secarik kertas yang menetaskan Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Terletak dekat Taman Surapati, Jakarta. Megah, bercat putih, punya banyak jendela. Di rumah di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 ini, sejarah penting bangsa Indonesia terpahat.

Namun, riwayat tempat teks Proklamasi dirumuskan ini belum dapat diungkapkan secara tepat. Tidak ada catatan rinci mengenai tanggal, bulan dan tahun bangunan ini berdiri. Begitu pula mengenai pemilik gedung tersebut, sangat sedikit sekali diketahui.

Bangunan ini diperkirakan berdiri 1920-an.  "Kita sampai sekarang masih mencari data, siapa pemilik pertama rumah ini," ujar pemandu Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Ari Suriyanto, kepada Liputan6.com.

Dalam surat ukur No 955 tanggal 21 Desember 1931, pemiliknya atas nama PT Asuransi Jiwasraya Nilmy (Nederlands Levenzekering Maatschapij), adalah bekas hak guna bangunan No. 1337/Menteng, dengan luas tanah 3.914 meter persegi. Di samping itu, diuraikan dalam surat ukur No 956 Eigendom Verponding No 17758, dengan luas bangunan 1.138.10 meter persegi.

Selain itu, pembangunan diarsiteki JFL Blankenberg, seorang arsitek Belanda. Blankenberg membuat gedung ini bergaya arsitektur Eropa.

Sebelum pecah perang Pasifik, bangunan ini dipakai sebagai gedung Konsulat Jenderal Inggris dan ini berlangsung sampai Jepang menduduki Indonesia pada Maret 1942.

Pada masa Hindia Belanda, gedung ini terletak di jalan yang dinamai Nassau Boulevaard. Selanjutnya ketika pendudukan Jepang, nama jalan ini diubah menjadi Meiji Dori. Jepang menyerahkan bangunan kepada Laksamana Muda Tadashi Maeda dan keluarga sebagai tempat tinggal.

Berdasarkan foto dokumentasi yang diperoleh dari Satzuki Mishima, penghuni gedung tersebut antara lain Sugimura, Hirako, dan beberapa pembantu rumah tangga yang dikoordinir oleh Satzuki Mishima, sebagai sekretaris Maeda untuk urusan rumah tangga.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, gedung ini tetap menjadi tempat tinggal Laksamana Maeda sampai Sekutu mendarat di Indonesia pada September 1945. Selanjutnya gedung ini digunakan sebagai Markas Tentara Inggris.

Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Pemindahan status pemilik gedung ini, dari milik Inggris menjadi pemerintah Indonesia, terjadi dalam aksi nasionalisasi terhadap milik bangsa asing di Indonesia. Pada waktu itu sedang dipakai untuk kediaman resmi Duta Besar Inggris.

Pemerintah Indonesia menyerahkan pengelolaannya kepada Departemen Keuangan yang selanjutnya dikelola oleh perusahaan Asuransi Jiwasraya. Pada 1961, Jiwasraya mengontrakkan gedung ini kepada Kedutaan Inggris sampai Juni 1981.

Mendekati berakhirnya masa kontrak tersebut, Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah DKI Jakarta menyampaikan hasil keputusan rapat koordinasi bidang Kesejahteraan Rakyat pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, untuk menjadikan gedung yang terletak di Jalan Imam Bonjol No 1 Jakarta Pusat sebagai Monumen Sejarah Indonesia. Berdasarkan pertimbangan rapat dinyatakan pula, bangunan tersebut mengandung nilai sejarah yang sangat penting.

Gedung ini diterima oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 28 Desember 1981. Untuk sementara, gedung ini dikelola oleh Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta. Kemudian pada 1982, gedung ini ditempati Perpustakaan Nasional sebagai perkantoran.

Selanjutnya pada 1984, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada waktu itu Prof Dr Nugroho Notosusanto, memberikan instruksi kepada Direktur Permuseuman agar gedung tersebut menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Akhirnya pada 26 Maret 1987, gedung ini diserahkan kepada Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, untuk dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

2 dari 2 halaman

Replika Meji Dori Nomor 1

Sebelum resmi jadi museum, dibuatlah kajian mendalam bersama tokoh-tokoh yang hadir saat perumusan naskah Proklamasi pada 1985. Mereka adalah Sayuti Melik, si juru ketik naskah Proklamasi dan BM Diah, seorang jurnalis dan tokoh pemuda.

Menurut Ari, kajian-kajian bersama tokoh-tokoh yang sudah tua itu dilakukan untuk mengetahui apa saja benda-benda yang ada saat perumusan. Selain kajian bersama keduanya, dilakukan juga pencarian data-data valid sampai ke Jepang.

Saat pencarian di Jepang itu, ditemukan data-data dari Satzuki Mishima. Data-data dari Satzuki yang penting itu berisi tentang benda-benda di rumah Maeda kala itu. "Ibu Satzuki Mishima juga bersedia ikut melakukan kajian bersama tim," ucap Ari.

Berangkat dari kajian dan data-data itu, akhirnya tim membuat replika benda-benda yang sama seperti di dalam rumah Maeda selama dia tinggal di rumah tersebut. Replika benda-benda itu juga dibuat semirip mungkin dengan aslinya.

"Akhirnya kita buat replika benda-benda seperti data dari Ibu Satzuki untuk di lantai 1. Sedangkan di lantai 2 itu barang-barangnya asli, hibah dari keluarga para tokoh yang hadir saat perumusan naskah. Di antaranya Sukarni, Supomo, dan lain-lain," kata Ari.

Dalam rumah Maeda, khususnya di lantai dasar, terdapat 4 ruangan yang digunakan dan berkaitan langsung dengan saat-saat perumusan naskah Proklamasi pada 16 sampai 17 Agustus 1945.

Ruangan pertama adalah ruang pertemuan. Di ruangan ini Maeda menyambut Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Subardjo. Di ruangan ini terdapat 4 kursi yang ditaruh mengelilingi sebuah meja bundar.

Kemudian ruang perumusan naskah Proklamasi. Pada ruang yang sebetulnya ruang makan tersebut, kala itu Sukarno, Hatta, dan Subardjo duduk. Ada beberapa kursi kayu yang disusun rapi mengelilingi meja makan yang berbentuk panjang. Sukarno duduk di tengah di antara Hatta dan Subardjo yang saling menghadap.

Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Lalu ruang pengetikan. Di dalam ruangan yang dekat dengan dapur itu naskah Proklamasi diketik oleh Sayuti Melik dan ditemani BM Diah. Di ruangan kecil ini terdapat sebuah meja dan sebuah kursi.

Terakhir, ruang pengesahan naskah proklamasi. Di ruangan besar pada bagian depan rumah ini, ketika itu puluhan pemuda dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berkumpul selama naskah dirumuskan. Mereka duduk pada sejumlah kursi kayu yang mengitari meja besar bulat dan memanjang.

Di ruang ini pula naskah Proklamasi yang dibacakan Soekarno disetujui oleh mereka yang hadir. Naskah proklamasi sendiri ditandatangani Sukarno dan Hatta di atas piano yang terletak di depan ruang pengetikan.

Benda-benda di seluruh ruang tersebut merupakan replika. Benda-benda seperti kursi dan meja juga diposisikan seperti semula. Meski begitu, Ari mengakui, tidak mudah membuat benda-benda replika yang punya arti sejarah dan saksi bisu perencanaan kemerdekaan Indonesia tersebut.

"Tidak mudah membuat replika seperti asli dan posisi semula. Perlu kajian, perlu waktu. Tak bisa dibuat dalam sekejap," kata Ari.

Bangunan di Jalan Imam Bonjol No 1 itu tidak terlalu besar untuk ukuran sebuah museum, namun dari bangunan itulah muncul secarik kertas yang membebaskan serta mempersatukan nusantara. (Ado/Yus)