Sukses

Kemenhub: Hanya Pilot Berpengalaman yang Dikirim Terbang ke Papua

"Tentu perlu jam terbang yang tinggi, kalau perlu jadi kopilot dulu, miliki jam terbang, baru bisa ke Papua," tutur Novie.

Liputan6.com, Jakarta - Pesawat Trigana Air jenis ATR 42 jatuh di Kamp 3 Distrik Okbape, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Pesawat dengan nomor registrasi PK-YRN dan rute penerbangan Jayapura (Sentani)-Oksibil tersebut hilang kontak pada Minggu 16 Agustus sekitar pukul 14.55 WIB.

Direktur Navigasi Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Novie Riyanto menjelaskan, hal ini dikarenakan medan di Papua yang pegunungan dan cuaca yang tidak menentu.

"Topografi di Papua memang terkenal ekstrem. Cuaca sering berubah. Banyak pengunungan. Ini yang membuat penerbangan di sini jauh lebih rumit," ujar Novie di kantornya, Jakarta, Rabu (19/8/2015).

Dia menegaskan, rata-rata pilot yang dikirim untuk ke Papua adalah pilot yang berpengalaman dan punya jam terbang yang tinggi serta memiliki manuver yang baik.

"Tentu perlu jam terbang yang tinggi, kalau perlu jadi kopilot dulu, miliki jam terbang, baru bisa ke Papua," tutur Novie.

Menurutnya, hal ini tidak semata-mata karena keadaan Papua, melainkan kebanyakan penerbangan di remote area (daerah perintis) biasanya menggunakan visual atau pandangan mata, daripada menggunakan instrumen atau alat yang di dalam pesawat.

"Kebanyakan menggunakan visual ketimbang instrumen. Semua sebenarnya beresiko, tetapi terbang visual seperti ini, itu harus hafal, gimana kalau terjadi gelap, enggak kelihatan apa-apa," tegas Novie.

Meskipun demikian, dia menegaskan baik itu penerbangan instrumen dan visual semua tergantung kondisi wilayahnya.

"Helikopter itu kan poin per poin. Tapi dia gunakan visual. Tapi tetap instrumen dibutuhkan, demi mengurangi dampak insiden" pungkas Novie. (Ron/Ado)