Sukses

Capim dari Ombudsman Ini Ingin KPK Ada di Daerah

Komisioner Ombudsman Budi Santoso yang juga calon pimpinan KPK menginginkan ada perwakilan lembaga antirasuah di daerah.

Liputan6.com, Jakarta - ‎Wilayah Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke. Oleh sebab itu, Komisioner Ombudsman Budi Santoso yang juga calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) menginginkan ada perwakilan lembaga antirasuah tersebut di daerah.

"Kita Indonesia terlalu luas. Kantor KPK hanya di Jakarta saja, jadi perlu ada yang di daerah untuk bantu monitor," kata Budi, dalam wawancara tahap akhir dengan Pansel KPK di Gedung Setneg, Jakarta, Senin (24/8/2015).

Budi memahami membangun perwakilan KPK di daerah bukan tugas yang mudah. Ia juga menuturkan tidak semua daerah akan memiliki kantor perwakilan, hanya di beberapa daerah saja.

"Misal di Sumatera dibangun di Medan dan Palembang. Di Sulawesi cukup di Makassar. Lalu di Indonesia yang paling timur di Papua. Juga melibatkan integrasi dengan lembaga lain dan bisa dengan NGO," tutur dia.

Budi juga menyampaikan cita-citanya untuk jadi pimpinan KPK. Ia juga tidak mempunyai rencana untuk melanjutkan jabatannya di Ombudsman.

"Sekarang usia saya 51 tahun, kalau saya diberi kewenangan (jadi pimpinan KPK) pas banget di usia 55 sudah pensiun, jadi pas menikmati hidup," ujar dia.

"Kalau saya mendaftar lagi di Ombudsman maka sama saja tidak ada tantangannya. Jadi bisa mengakhiri karier saya di KPK ya alhamdulilah," tandas Budi.

Lapor Dwelling Time

Budi Santoso mengaku telah memberikan laporan terkait kasus dwelling time atau waktu tunggu bongkar muat peti kemas pada Maret 2014. Namun, pihak eksekutif saat itu tidak menindaklanjuti laporan tersebut.

"‎Maret 2014 itu kita sudah keluarkan rekomendasi dwelling time, tapi tidak ada tindak lanjut," kata Budi.

"Gaung kasus dwelling time tidak ada hingga Pak Jokowi datang dan marah, baru masyarakat terkesiap ada masalah," tambah dia.

Saat itu, lanjut Budi, Menteri Perhubungan dijabat EE Mangindaan. Hasil laporan kasus dwelling time pun telah diserahkan padanya. Menurut dia, kasus itu tidak hanya terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok.

"Kasus dwelling time tidak hanya di di Tanjung Priok, ada juga di Tanjung Perak, Pelabuhan Belawan, dan Pelabuhan Makassar. Itu 4 pelabuhan besar dan hasilnya sama. Lama bongkar peti kemas alasannya sama seperti yang sekarang muncul," tutur Budi.

Hasil investigasi Ombudsman menunjukkan ada perbuatan sengaja yang dilakukan otoritas di pelabuhan-pelabuhan tersebut. Tujuannya untuk mendapat uang pelicin.

"Ada unsur sengaja, dibikin begitu agar importir merasa perlu menemui seseorang untuk mempercepat. Itu kan perlu biaya tambahan. Ini yang jadi komoditas," imbuh dia.

Budi menyampaikan pula dalam laporan yang dirilis tahun lalu, Ombudsman menelurkan rekomendasi untuk membuat one gate system dalam pembongkaran peti kemas.

‎"Kalau tidak ada single authority maka pengeluaran peti kemas akan kembali ke semula. Ini semoga dilakukan Rizal Ramli. ‎Pak Gobel sebelum diganti juga membuat kebijakan pengurusan dilakukan sejak di perjalanan, tapi itu harusnya dibuat lebih praktis dengan one gate system," tandas Budi. (Alv/Mut)