Sukses

Sengsaranya Petani Garam Gara-Gara Kebijakan Impor

Saat ini, petani garam jadi pekerja di lahannya sendiri.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur, Muhammad Hasan, mengeluhkan nasib sejawatnya yang merasa dirugikan atas kegiatan impor garam di Indonesia. Sebab, kata Hasan, para importir terlena membeli garam luar negeri sehingga tidak menyerap produksi garam petani lokal secara maksimal.

"Selama ini adanya importasi garam menyebabkan kerugian petani. Penyerapan garam rakyat tidak maksimal dan menimbulkan jatuhnya harga sehingga masyarakat dirugikan. Harga garam jatuh ini memukul petani," kata Hasan dalam Kongres Ke-IV HMPG Jawa Timur di Hotel Sahid Surabaya, Jawa Timur, Kamis 27 Agustus 2015.

Diakuinya, kadar NaCl garam Indonesia lebih rendah daripada garam impor, serta teksturnya lebih kasar. Sehingga pengusaha lebih memilih garam impor yang kadar NaCl tinggi dan teksturnya halus agar mudah laku di pasaran.

"Kami tidak pernah diberitahu spek garam yang pabrik inginkan. Tidak ada yang mustahil bila semua mau bersinergi dari mulai teknologi sampai regulasi," kata Hasan.

Menurut Hasan, kadar NaCl garam di Indonesia 85%. Sementara kadar NaCl garam impor dari Australia 98%. Hasan mengatakan, sebenarnya kadar NaCl garam lokal bisa ditingkatkan dengan bantuan teknologi canggih. Namun, petani garam yang merupakan rakyat kecil tak mampu membeli teknologi tersebut.

Dengan kualitas NaCl 85%, garam yang 6 bulan digarap petani hanya dihargai Rp 375 sampai Rp 450 per kilogram. Padahal, PT Garam Persero telah menetapkan harga pokok pembelian (HPP) garam petani Rp 750 untuk kualitas nomor wahid dan Rp 550 untuk kualitas nomor dua.

"Tapi kenyataannya di lapangan tidak seperti itu, garam kami dibeli paling tinggi harganya Rp 450 oleh supplyer dan dijual ke pabrik hanya Rp 660," tandas Hasan.

Hidup Miskin

Gara-gara ini, kata Hasan, kehidupan petani garam di bawah garis kemiskinan. Banyak tambak garam mereka yang akhirnya dijual ke juragan dan perusahaan. "Dari pada merugi terus," ujar Hasan mewakili para petani.

Saat ini, petani garam jadi pekerja di lahannya sendiri. Setelah menjual tambak garam, mereka yang tak memiliki keahlian lainnya mengais rejeki dari perusahaan yang membeli tanahnya.

"Kami butuh hidup, sekolahkan anak-anak. Petani yang menjual lahannya untuk bertahan hidup," ungkap Hasan.

Dampak dari ketidaksejahteraan itu, setiap musim produksi tiba, petani garam yang kebanyakan asal Madura urbanisasi sementara ke Benowo, Jawa Timur, hingga panen tiba. Di sana para petani menjajakan tenaga mereka kepada para pemilik tambak untuk menggarap tambak. (Sun/Rmn)