Sukses

Wakil Risma Harap MK Beri Solusi Terkait Calon Tunggal

Wakil Walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana mengharapkan MK memberi solusi dalam putusannya terkait calon tunggal dalam pilkada.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana mengharapkan Mahkamah Konstitusi (MK) memberi solusi dalam putusannya terkait calon tunggal dalam pilkada serentak. Hal itu berkaitan dengan uji materi yang diajukan pihaknya atas Pasal 51 ayat 2, Pasal 52 ayat 2, Pasal 121 ayat 1, dan Pasal 122 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada).

‎"Kita berharap ada putusan paling solutif," kata Whisnu dalam sidang perbaikan di ruang sidang Utama Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/9/2015).

Wisnu yang bersama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini kembali maju dalam Pilkada Surabaya 2015 itu juga mengharapkan putusan MK nantinya bisa mengakomodir pasangan calon tunggal, jika Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tak mendapatkan minimal 2 pasangan bakal calon kepala daerah dalam Pilkada Surabaya 2015 ini.

"Kami harap agar putusan MK bisa mengakomodir para calon tunggal supaya tetap bisa ikut pilkada," ucap Whisnu.

Dalam sidang‎ ini, Whisnu melalui kuasa hukumnya, Edward Dewaruci juga menawarkan 2 alternatif solusi dalam mekanisme pemilihan jika hanya terdapat pasangan calon tunggal. Meski pihaknya tetap menyerahkan sepenuhnya kepada MK mengenai putusannya seperti apa.

"Ini demi perlindungan dan pemenuhan hak warga negara dalam memilih, pergantian kepala daerah, dan bagi parpol yang tidak mengusung calon, untuk mempertanggungjawabkan," ujar Edward.

Alternatif pertama, kata Edward, pihaknya selaku pemohon meminta MK membuat aturan pelantikan tanpa kontestasi. Maksudnya, pasangan calon tunggal kepala daerah dapat langsung dilantik setelah ditetapkan sebagai calon oleh KPU. Mekanisme itu menurut Edward telah tertuang dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945, di mana kepala daerah dipilih secara demokratis, berdasarkan dukungan besar pemilih.

"Jika diakomodir menjadi sistem pemilihan seperti itu, maka dapat disebut bahwa pemilihan telah secara demokratis dan melindungi warga dalam sistem pemilihan. Jika sistem ini digunakan, maka nasib pembelengguan atau praktek calon boneka menjadi dihindari‎," ujarnya.

Alternatif kedua, tambah Edward, yakni pemilihan dengan satu pasangan calon. Namun, mekanisme ini membutuhkan beberapa penyesuaian dalam tampilan surat suara. Misalnya surat suara tetap berisi gambar, nama, dan foto pasangan calon tunggal. Tetapi, di bawah foto pasangan calon diberikan dua kolom dengan keterangan setuju atau tidak setuju.

Nantinya pemilih diminta untuk memilih salah satu kolom. Sepanjang jumlah pemilih kolom tidak setuju tidak lebih dari 50 persen, maka jumlah suara tersebut sudah bisa dijadikan landasan untuk melantik pasangan calon tunggal.

"Ini pedoman seberapa besar pemilih melakukan pemilihan secara demokratis," jelas Edward. (Mut)