Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Pasal 20 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Pengadilan HAM). Uji materi ini diajukan keluarga korban peristiwa 1998, Yati Ruyati dan Paian Siahaan.
Dalam sidang ini, Komnas HAM selaku pihak terkait memberi penjelasan soal bolak-baliknya berkas-berkas pelanggaran HAM dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung. Hal itu setelah anggota Majelis Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menegur Komnas HAM.
Baca Juga
Dijaga Ketat, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Infografis Paslon RK-Suswono dan Dharma-Kun Tak Ajukan Gugatan Hasil Pilkada Jakarta 2024 ke MK dan Hasil Rekapitulasi Suara
Ridwan Kamil Batal Gugat Pilkada Jakarta ke MK, Golkar: Kita Kedepankan Budaya Jawa
Dia mempertanyakan tidak adanya titik temu bolak-baliknya berkas tersebut. Khususnya karena alasan batasan kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam soal ruang lingkup menangani kasus.
Advertisement
"Ini yang dipersoalkan oleh pemohon. Kami khawatir ada perbedaan penafsiran antara kejaksaan dengan Komnas HAM. Kejaksaan akan kami tanyakan hal yang sama," ujar Palguna di Ruang Sidang Utama, Gedung MK, Jakarta, Selasa (8/9/2015).
Anggota Komnas HAM Siti Noor Laila mengungkapkan, berkas tersebut mondar-mandir dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung dan sebaliknya, lantaran persoalan penyelidik Komnas HAM yang belum disumpah.
Di satu sisi, penyidik Kejaksaan Agung sudah memberi petunjuk agar penyelidik Komnas HAM disumpah. Namun Komnas HAM menolaknya lantaran menilai penyumpahan itu tidak ada dasar hukumnya.
Siti mengklaim, Komnas HAM hanya bertugas mencari dan menemukan fakta dari peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat. Karena itu, dia mengaku, tugas Komnas HAM sebetulnya hanya sampai pada penyelidikan. Terutama ketika berkas itu diserahkan ke Kejaksaan Agung.
"Definisi penyelidikan, maka tugas Komnas HAM sebagai penyelidik sudah selesai dilaksanakan terhitung ketika (berkas) sudah diserahkan pada Kejaksaan Agung. Pada Pasal 20 ayat (2) UU Pengadilan HAM, Komnas HAM hanya mencari dan menmukan peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat," kata Siti.
Berkutat Soal Sumpah Jabatan
Siti menambahkan, bolak-balik berkas terakhir terjadi pada 2014. Lagi-lagi Siti mempermasalahkan soal sumpah penyelidik Komnas HAM yang jadi alasan pengembalian berkas oleh Kejaksaan Agung. "Selalu itu petunjuknya," kata Siti.
Padahal menurut dia, tidak ada yang mengatur penyelidik Komnas HAMÂ harus melakukan sumpah. Siti mengaku, penyidik Kejaksaan Agung tidak pernah mempersoalkan kurang lengkapnya berkas yang diselidiki Komnas HAM.
Kasubdit HAM Berat Jampidsus Kejaksaan Agung, Tugas Utoto mengatakan, persoalan bolak-balik berkas perkara dugaan pelanggaran HAM berat disebabkan ada sejumlah petunjuk dari Kejaksaan Agung, baik formil dan materiil, yang belum dipenuhi Komnas HAM.
Petunjuk tersebut pun harus dipenuhi oleh penyelidik termasuk soal sumpah jabatan sebagaimana diatur dalam KUHAP. "Soal sumpah jabatan itu tercantum dalam Pasal 76 ayat (1) KUHAP," ujar Tugas.
Dia mengatakan, Pasal 76 ayat (1) KUHAP menyebutkan, berdasarkan ketentuan dalam undang-undang diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji oleh penyelidik. Kemudian, dalam Pasal 10 UU Pengadilan HAM disebutkan hukum acara suatu perkara dilakukan berdasarkan KUHAP.
Atas dasar itu, Tugas menilai kewajiban penyelidik untuk melakukan sumpah jabatan telah memiliki dasar hukum. Yakni sesuai Pasal 76 ayat (1) KUHAP dan hukum acara yang berdasarkan KUHAP.
Kontras Kritik
Sementara Koordinator Kontras Haris Azhar selaku penasihat hukum pemohon menjelaskan, bahwa Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sama-sama melakukan tindak lanjut yang tidak tepat sasaran dalam menangani perkara-perkara pelanggaran HAM berat.
"Patut diduga, Komnas HAM tidak melakukan apa yang direkomendasikan pihak Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung juga terlalu menuntut," ujar Haris.
Dia juga melihat, kedua institusi ini punya kontribusi atas berlarut-larutnya penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat, terutama di masa lalu.
Khusus Kejaksaan Agung, lanjut Haris, rupanya terbit Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 39 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Khusus, Korupsi dan HAM?. Di mana dalam Pasal 900 tertuang aturan penyidik melakukan prapenyidikan atas penyelidikan suatu perkara.
"Ternyata kita baru tahu, sejak 2010 ternyata ada Perja 39/2010. Kita tidak tahu, apakah mereka melakukan prapenyidikan terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM atau tidak. Prapenyidikan itu ada di Pasal 900 Perja 39/2010," kata Haris.
Di sisi lain, Haris menduga Komnas HAM ogah-ogahan melaksanakan petunjuk dari Kejaksaan Agung. Mengingat, selama 13 tahun terakhir ada 7 berkas yang terus bolak-balik sehingga tak kunjung lengkap alias P21.
"Saya menduga cara Komnas HAM malas menjalankan petunjuk. Kalau mereka bilang sungguh-sungguh menyelesaikan, seharusnya hari ini selesai," ujar Haris.
Untuk diketahui, para pemohon menggugat Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM yang berisi aturan hasil penyelidikan yang dinilai masih kurang lengkap dikembalikan penyidik kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari sejak diterimanya hasil penyelidikan.
Atas petunjuk penyidik, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut. Persoalan yang digugat dalam pasal ini difokuskan pada frasa 'kurang lengkap' dalam Pasal 30 ayat (3) UU Pengadilan HAMÂ yang mengakibatkan berkas perkara-perkara dugaan pelanggaran HAM selalu 'mengalami' bolak-balik dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung dan sebaliknya. (Ado/Ron)