Sukses

KPPU Dalami Dugaan Kartel dalam Kasus Dwelling Time Bos Garam

Kemungkinan terjadinya kartel cukup besar karena terdapat margin harga yang tinggi antara harga garam impor dan harga jual oleh distributor.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sedang mendalami dugaan adanya praktik kartel dalam kasus garam impor yang saat ini sedang ditangani oleh Polda Metro Jaya. Kemungkinan terjadinya kartel cukup besar karena terdapat margin harga yang tinggi antara harga garam impor dan harga jual oleh distributor.

"‎Kemungkinan kartel itu terjadi di garam impor karena harga garam impor kan Rp 500 per kg, dijual distributor di Indonesia Rp 1500. Berarti kan ada margin Rp 1000, margin Rp 1000 ini kan luar biasa besar. Kalau impornya 2014, 2,25 juta ton dikalikan Rp 1.000 saja kan sudah Rp 2,25 triliun, angkanya besar sekali," kata Ketua KPPU Syarkawi Ra'uf, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta pada Senin 14 September 2015.

Pendalaman dugaan kartel itu telah dikomunikasikan KPPU dengan Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti dan Menteri Perindustrian Saleh Husin.‎ Syarkawi menuturkan, tak cuma produk impor aksi kartel juga bisa terjadi pada produk garam lokal. Sebab, hanya ada sebagian kecil pembeli garam lokal sehingga mereka bebas menentukan harga di level petani.

"‎Sehingga tiap terjadi panen, petambak garam menghadapi harga yang rendah, harga yang rendah itu mungkin saja karena ada kartelnya, ini yang kita belum tahun benar atau tidak," ucap Syarkawi.

‎Setelah sempat buron, Dirut PT Garindo Sejahtera Abadi Tjindra Johan menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya pada Jumat 11 September 2015 sekitar pukul 11.00 WIB.

Bos garam tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan suap, gratifikasi, dan tindak pencucian uang kepengurusan Surat Persetujuan Impor atau SPI.‎ Johan diduga menyuap pejabat Dirjen Kementerian Dalam Negeri. Seperti dipaparkan Direskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Mujiyono.

‎"Karena semua unsur sudah memenuhi, Sabtu (12 September 2015) kemarin sudah ditahan. Jadi sudah ada 6 tersangka yang ditahan," ujar Mujiyono di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Minggu 13 September 2015.

Tersangka diduga memberikan uang sebesar 25 ribu dolar Singapura atau senilai Rp 250 juta untuk pejabat Dirjen Kemendag pada periode kedua. Untuk periode pertama Johan menyerahkan uang sebesar 10 ribu dolar Singapura atau Rp 100 juta. Jadi totalnya diduga mencapai sekitar Rp 350 juta untuk tindakan gratifikasi dan suap itu.

"‎Modusnya mengetahui dan menyetujui kepada oknum pejabat. Di kepengurusan SPI tersangka memberikan 25.000 dolar Singapura, dan sebelumnya 10.000 dolar Singapura," ujar Mujiyono.

Kasubdit V Tipikor Ditreskrimum Polda Metro AKBP Didik Sugiarto mengatakan, Johan menyuap karena ingin menambah kuota impor garam. Dia hanya memperoleh jatah 70.000 ton garam, tapi menambahnya menjadi 116.375 ton garam. Banyaknya kuota garam impor ini, mematikan harga panen petani garam.

Johan dikenakan pasal dugaan tindak pidana korupsi suap pada penyelenggara negara terkait pengurusan SPI PT GSA di Ditjen Daglu Kementerian RI yang terjadi pada 2015. Sebagaimana dalam pasal 5 ayat (1), a, b dan atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 atas perubahan undang-undang nomor 31 tahun 199 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi JO Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebelumnya, penyidik mengembangkan kasus waktu bongkar muat di pelabuhan (dwelling time) ke Surabaya terkait flow of document dan dugaan terjadi penyalahgunaan wewenang, serta tindak pidana korupsi oleh 5 tersangka sebelumnya.

Beberapa tersangka seperti Dirjen Daglu Kemdag Partogi Pangaribuan, Kasubdit Impor Kemendag Imam Ariatna, tenaga honorer atau pekerja harian lepas di Kemdag Musafah, pengusaha Hendra Sudjana, dan Eryati Kuwandi alias Lucie.

Penyidik menemukan indikasi penyalahgunaan wewenang pada saat penerbitan rekomendasi kuota garam. PT GSA diduga melakukan suap terhadap tersangka Partogi dengan tujuan agar kuota garam perusahaan itu tidak dikurangi‎. (Ndy/Ans)