Liputan6.com, Jakarta Osama Abdul Mohsen seperti bermimpi. Dalam delapan hari nasibnya melenting ke atas. Dari awal berlari-lari dikejar aparat hingga terjegal dan tersungkur, pengungsi Suriah itu diundang ke markas klub pujaannya, Real Madrid, dan mendapat kesempatan lebih baik..
Pada 9 September, pria berambut putih itu berusaha kabur dari kejaran polisi bersenjatakan pentungan menuju perbatasan Hungaria-Serbia. Dia tak tahan di kamp Roszke, Hungaria. Tak bisa berlari leluasa, Mohsen membawa ransel serta tas kain berisi segala hartanya sambil menggendong anaknya, Zaid, yang menangis ketakutan.
Saat itu tiba-tiba kaki Petra Laszlo, juru kamera perempuan dari stasiun televisi Hungaria, N1TV, menjulur ke arahnya. Mohsen tersungkur di tanah lapang, ditindih tubuh anaknya.
.
Rekaman video peristiwa itu menyebar luas dan menyulut kemarahan khalayak internasional. Si penjegal langsung dipecat. "Salah satu kolega kami di N1TV berperilaku yang tak bisa diterima di pusat penerimaan pengungsi di Roeszke. Kameramen tersebut telah diberhentikan dengan segera," demikian pernyataan N1TV.
Bagaimana nasib Mohsen? Setelah Mohsen dan anaknya tiba di Muenchen, muncul laporan di media Jerman bahwa ia sebenarnya mantan pelatih klub Divisi Utama Suriah, Al-Fotuwa. di Provinsi Deir al-Zour, Suriah. Ia meninggalkan negerinya untuk menghindari maut.
Mendengar itu, Presiden Madrid Florentino Perez pun mengundang Mohsen dan keluarganya. Mohsen bersama anak laki-laki yang berumur 18 dan 7 tahun, ditemani wartawan Spanyol dan seorang murid di klub tersebut yang pandai berbahasa Arab naik kereta api menuju Spanyol.
Pada 17 September, Mohsen dan keluarga berkeliling ke markas Madrid, Santiago Bernabeu, bertemu pelatih pelatih Rafael Benitez dan bintang Madrid, Christiano Ronaldo.
"Ini mimpi yang menjadi nyata. Saya mencintai Real Madrid, tim favoritku, dan keluarga," kata Mohsen.
Tak berhenti di sini, pelatih sepak bola profesional Presiden Pusat Latihan Sepak Bola Spanyo,l Miguel Angel Galan, mengatur agar Mohsen tinggal di Spanyol. Pusat pelatihan itu memberi apartemen untuk keluarga tersebut.
"Ia akan belajar bahasa Spanyol dan setelah fasih akan bekerja di organisasi kami," kata Galan, seperti dikutip dari NYTimes. "Aku melihat masa depan untuk keluargaku di Spanyol," sambung Mohsen.
Advertisement
Mohsen mungkin hanya satu dari sedikit pengungsi Suriah yang beruntung. Di belakang Mohsen lebih banyak saudara senegaranya yang terus tersungkur bahkan hingga kehilangan nyawa dalam pelarian mereka.
Dari 'rombongan' Mohsen saja sudah terlihat beratnya perjuangan dan kecilnya peluang pengungsi Suriah hidup lebih layak di negeri orang.
Mohsen dan anaknya adalah bagian dari 1.500 imigran yang mencari suaka asal Suriah. Mereka hanya transit di Hungaria. Harapan pengungsi itu sampai ke negara-negara di Eropa Barat yang mau menerima.
Setelah menunggu selama berjam-jam di titik pengumpulan pengungsi di dekat persimpangan Roszke, mereka kabur mengikuti jalur rel kereta api menuju Kota Szeged.
Sebelumnya mereka bertahan di Stasiun Keleti, Budapest, Hungaria dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga puluhan kilometer menuju perbatasan Austria menuju Jerman.
"Kami pilih jalan saja. Tak punya pilihan," kata seorang pengungsi pria kepada BBC, Sabtu (4/9) lalu. Ia telah berjalan hampir 30 kilometer dan harus sering berhenti karena istri dan bayinya tidak kuat.
Sejauh ini sedikitnya 4 juta lebih warga Suriah telah melarikan diri dari perang di negerinya. Pengungsi Suriah saat ini terbesar yang pernah ditangani badan pengungsi PBB UNHCR selama seperempat abad terakhir. Kasus pengungsi sebelumnya adalah konflik Afghanistan pada 1992 dengan 4,6 juta pengungsi.
"Ini adalah populasi pengungsi terbesar dari satu konflik sepanjang generasi terakhir," kata kepala badan pengungsi PBB (UNHCR) Antonio Guterres.
Pada akhir Agustus 2014, pengungsi Suriah yang terdaftar baru mencapai 3 juta. Prediksinya jika koflik tak mereda pengungsi akan mencapai 2,27 juta pada akhir tahun.
Di sisi lain pengungsi asal Suriah mencapai sepertiga dari total 137.000 orang yang menyeberangi Laut Tengah ke Eropa sepanjang pertengahan pertama tahun 2015.
Sebagian dengan perahu-perahu rakitan. Tak seperti Mohsen yang bernasib mujur, para pengungsi itu umumnya telantar tak tentu arah, bahkan meninggal, seperti Aylan Kurdi.
Setelah Aylan Kurdi Terbujur
Ribuan warga Suriah berusaha mengungsi ke Eropa mencari negeri yang lebih aman. Tidak semua pengungsi berhasil mencapai negara tujuan. Sebagian ada yang tertangkap bahkan meninggal dalam perjalanan.
Kematian Aylan Kurdi, bocah 3 tahun, menjadi potret kematian para pengungsi yang menusuk mata dunia internasional. Aylan tewas bersama saudara laki-lakinya, Galip, 5 tahun, juga ibunya, Rihan. Polisi Turki menemukan jenazah mereka di bibir pantai Turki.
Menurut petugas penjaga pantai Turki, sekelompok migran berikut Aylan Kurdi itu meninggalkan Turki melalui Semenanjung Bodrum menuju Pulau Kos di Yunani pada Rabu dini hari (02/09). Tak lama kemudian dua perahu yang mereka tumpangi karam.
Abdullah Kurdi (40 tahun), ayah Aylan, menuturkan kapal yang ditumpangi keluarganya diterjang ombak tinggi setelah bertolak dari Turki menuju Pulau Kos, Yunani. Kapten kapal kemudian memutuskan menceburkan diri ke laut dan berenang.
“Saya mencoba mengemudikan kapal tapi ombak tinggi mendorong kapal hingga terbalik. Itulah ketika kejadian berlangsung. Saya mencoba menangkap anak dan istri saya, namun tiada harapan. Satu per satu mereka meninggal,” kata Abdullah kepada BBC.
Aylan dan saudara serta ibunya dimakamkan di Kobane, Suriah. "Saya tidak lagi mempunyai masa depan. Masa depan saya telah sirna," kata Abdullah saat pemakaman.
Dari sekitar 23 orang di kapal bersama Aylan itu diperkirakan hanya sembilan yang selamat. Mereka yang selamat mengenakan pelampung dan berenang menuju pantai.
Dari insiden itu petugas menemukan 12 jenazah termasuk 5 anak-anak. Dalam kondisi sudah meninggal, Aylan terbujur dengan tubuh memucat di pinggir pantai.
Ditayangkan pertama kali oleh kantor berita Turki, foto-foto terakhir Aylan tersebar luas ke seluruh dunia. Kematian Aylan menyisakan pesan kemanusiaan.
Masyarakat internasional pun berteriak dan mendesak agar Uni Eropa melakukan tindakan darurat untuk menampung para migran. Perdana Menteri Australia saat itu Tony Abbott turut bereaksi. Dia menyatakan negerinya siap berpartisipasi dalam krisis ledakan pengungsi Suriah sebagai bagian dari misi kemanusiaan.
Setelah insiden kematian Alan beredar luas, polisi Turki menahan empat tersangka penyelundup manusia yang diduga menyelundupkan keluarga Kurdi dan puluhan orang lainnya. Badan pengungsi PBB sebelumnya juga menengarai para penyelundup kerap menjerumuskan para pengungsi dalam penderitaan.
Fasilitator pengungsi memang banyak di Suriah. Mereka membantu warga yang akan meninggalkan Suriah. Gelombang pengungsi pun tak henti-henti seiring konflik yang tak kunjung usai.
"Saya tak ingin anak saya pergi. Tapi, saya dengar banyak anak tetangga saya tewas karena bom mobil," kata seorang perawat kepada Guardian. Jika tak segera disudahi, cerita Mohsen dan Aylan yang lain masih mungkin terulang kembali. (Hmb/Yus)
Advertisement