Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini masih memblokir sejumlah rekening milik terpidana kasus suap pengurusan gugatan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Padahal, perkara yang bersangkutan telah berkekuatan hukum tetap.
Menurut Pelaksana Tugas Pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji, hal ini tetap dilakukan lembaganya lantaran perkara suap yang menyangkut Akil Mochtar belum seluruhnya selesai. Selain itu, dugaan suap yang dilakukan sejumlah kepala daerah terhadap Akil masih dalam proses pengadilan.
"Biasanya pemblokiran tetap dilakukan karena perkara pokok maupun perkara yang terkait via pasal 55 KUHP, belum selesai seluruhnya, baik karena KPK maupun pihak-pihak terkait masih gunakan upaya hukum biasa maupun luar biasa," ucap Indriyanto Seno Adji saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (23/9/2015).
Indriyanto memastikan, apa yang dilakukan oleh lembaganya terkait pemblokiran rekening yang diprotes Akil Mochtar beberapa waktu lalu di persidangan tidak akan mencederai hak-hak seseorang. Meskipun ia merupakan tersangka atau terpidana.
"KPK bekerja proper dan penuh tanggung jawab, juga dihindari melanggar hak-hak pribadi siapa pun yang terkait kasus di KPK," imbuh Indriyanto.
Akil Mochtar yang telah dihadirkan Jaksa Penuntut Umum pada KPK dalam persidangan kasus suap sengketa Pilkada Pulau Morotai menolak memberikan keterangan sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin 21 September lalu.
Di hadapan majelis hakim, ia merasa kesal lantaran hingga ini rekening milik ia dan keluarganya masih diblokir KPK.
"Ada rekening istri saya, tidak disita tapi diblokir. Tidak ada masuk dalam berkas perkara. Itu urusannya apa coba?" kata Akil Mochtar.
Padahal rekening itu, menurut Akil, tidak ada kaitannya dengan perkara yang telah membawanya divonis penjara selama seumur hidup. Rekening itu merupakan sisa gaji selama menjadi anggota DPR atau sebelum menjabat sebagai Ketua MK.
Akil Mochtar juga mengaku sudah berulangkali mengirimkan surat permintaan pembukaan rekening kepada KPK. Namun, tidak satu pun suratnya yang dibuat dari dalam penjara mendapat jawaban.
Dalam kasus dugaan suap pengurusan gugatan sengketa Pilkada Pulau Morotai, Maluku Utara di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2011, Rusli Sibua didakwa telah menyuap Akil sejumlah Rp 2,89 miliar. Uang ini untuk memengaruhi putusan perkara permohonan keberatan atas hasil pilkada di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara pada 2011.
Perbuatan Rusli itu diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1 Huruf a subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. (Ans/Mut)