Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar penegak hukum harus mendapatkan izin presiden, jika ingin memeriksa anggota DPR, MPR, dan DPD.
Hakim Konstitusi menyatakan, frasa persetujuan tertulis dalam Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengkritik keras putusan MK tersebut. Sebab kata dia, hal serupa justru pernah ditolak Mahkamah pada 2012.
"Tugas presiden pasti tambah. Tapi ini seperti bola pingpong, 2012 pernah dibahas. Permintaan pemeriksaan anggota DPR yang sebelumnya melalui izin pesiden lalu dibatalkan MK," kata Masinton di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (25/9/2015).
"Maka di UU Nomor 17 Tahun 2014 mekanisme pemeriksaan anggota DPR melalui MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), sekarang MK mengembalikan izin pemeriksaan pada presiden. Ini kaya bola pingpong," sambung dia.
Karena itu, politisi PDI Perjuangan ini menilai, MK telah banyak membuat putusan kontroversial. MK juga sebelumnya mengeluarkan putusan yang memperbolehkan keluarga petahana maju Pilkada.
"Banyak putusan di MK ini yang kontroversial. Saya khawatir keputusan MK ini tidak senafas dengan tata konsolidasi demokrasi," tandas Masinton.
Ketua MK Arief Hidayat menuturkan, frasa persetujuan tertulis dalam Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.
"Pasal 245 ayat 1, selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan tertulis untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana, harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden," ucap Arief, Selasa 22 September 2015.
Mahkamah juga memutuskan frasa persetujuan tertulis dalam Pasal 224 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.
Sebelum putusan MK, Pasal 224 ayat 5 berbunyi, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, 2, 3 dan 4, harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD.‎ (Rmn/Sun)
Putusan MK Soal Pemeriksaan Anggota DPR Seperti Bola Pingpong?
Menurut Masinton, MK telah banyak membuat putusan kontroversial.
Advertisement