Liputan6.com, Jakarta - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 memasuki usia ke-50. Setara Institute meminta pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk memulihkan hak-hak korban.
"Setara Institute menegaskan bahwa memenuhi hak korban peristiwa G30S bukanlah bentuk pengampunan terhadap Partai Komunis Indonesia, seperti yang disalahartikan oleh banyak pihak. Meminta maaf dan memulihkan hak-hak korban 1965 adalah kewajiban negara," kata Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, di kantornya, Jakarta, Senin (28/9/2015).
Ia melanjutkan, banyak kerugian ‎yang dirasakan oleh mereka yang dituding keturunan PKI. Mereka dikucilkan dan tidak bisa melanjutkan hidup seperti orang lain. Oleh karena itu, Setara Institute mendesak pemulihan hak-hak korban.
"Soal anak-anak dituding warga keturunan yang terlibat tidak bisa jadi PNS, TNI, bahkan guru juga tidak bisa. Banyak hal diskriminasi yang terjadi," tutur dia.
Menurut Bonar, peristiwa G30S termasuk sebagai kejahatan kemanusiaan dan harus diperlakukan sebagai pelanggaran HAM masa lalu. Ia menuturkan tanpa penyelesaian yang adil, peristiwa tersebut akan menjadi beban sejarah berkelanjutan.
Bonar menjelaskan, pemerintah harus memberikan permintaan maaf, sebagai bentuk kegagalan tidak bisa melindungi korban di masa lalu. Setelah meminta maaf, pemerintah tetap wajib mengungkap kebenaran dari peristiwa tersebut.
"Permintaan maaf negara jangan disalahartikan permintaan maaf kepada kelompok atau lembaga tertentu," ujar Bonar.
Dari catatan Setara Institute, terjadi pembantaian massal dalam peristiwa G30S 1965. Jumlah korban mencapai 1,5 juta orang dan korban sebagian besar merupakan anggota PKI atau ormas yang dianggap berafiliasi, seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR, dan Lekra. (Alv/Mut)
Setara Institute Minta Pemerintah Pulihkan Hak Korban G30S 1965
Setara Institute meminta pemerintah memanfaatkan momentum 50 tahun Gerakan 30 September 1965 untuk memulihkan hak-hak korban.
Advertisement