Sukses

Logam Tanah Jarang, Cadangan Strategis Nasional di Masa Depan

Salah satu unsur Logam Tanah Jarang bisa dihargai sampai 10 ribu US$.

Liputan6.com, Jakarta Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) terus mendorong upaya hilirisasi Logam Tanah Jarang (LTJ) dengan sejumlah kementerian dan lembaga.

Logam Tanah Jarang adalah kumpulan 17 unsur kimia pada tabel periodik semisal serium, lantanum dan gadolinium. Di Indonesia, LTJ banyak ditemukan
mineral monasit yang merupakan tailing atau sisa-sisa penambangan timah seperti di Bangka Belitung.

Kepala Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN) BATAN Agus Sumaryanto mengatakan, bahwa LTJ dapat menjadi cadangan strategis nasional. Penambangan dan pengolahan LTJ pun ditargetkan sudah memasuki tahap komersialisasi pada 2019 mendatang.  

"LTJ bukan sebagai komoditas saja. Tapi juga sebagai cadangan strategis nasional. Eksplorasi terus kita lakukan. Targetnya 2019 selesai komersialisasi. Supaya ini menjadi industri LTJ Merah Putih," kata Agus.

LTJ sesungguhnya memiliki nilai komersial yang tinggi, namun kerap 'dijual' murah. Mineral monasit yang mengandung LTJ dalam bentuk pasir diekspor ke luar negeri dengan harga sekitar Rp 1000-3000 per kilogram.

"Padahal, jika diekstrak menjadi LTJ itungannya dollar. Salah satu unsur LTJ bahkan bisa dihargai sampai 10 ribu US$," ungkapnya.

LTJ Faktor Pendukung Industri China Maju

Dalam catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Indonesia diperkirakan memiliki setidaknya 1,5 miliar ton LTJ. Sejak beberapa dekade terakhir, LTJ digunakan sebagai salah satu bahan baku membuat peralatan-peralatan berteknologi tinggi, semisal LCD pada telepon genggam, campuran pengeras baja dan cat anti radar.

"Di negara-negara maju, yang namanya energi itu bukan lagi sekadar bahan bakar fosil, uranium, plutinoum, angin, air. LTJ juga menjadi dikategorikan sebagai cadangan energi. LTJ dianggap sebagai material penting di masa depan," ujar Agus yang juga sebagai Koordinator Konsorsium LTJ Nasional.

Agus mencontohkan bahwa Tiongkok adalah salah satu negara maju yang sukses memproduksi LTJ dalam jumlah besar. Tahun 2005, negara ini tercatat telah mampu memproduksi 43 juta ton LTJ. Terkecuali untuk kontrak-kontrak jangka panjang, China telah menghentikan ekspor LTJ ke luar pada 2012 lalu. Dengan produksi LTJ yang besar tersebut, setidaknya industri di China mengalami kemajuan pesat.

Bagaimana dengan LTJ di Indonesia?

Agus menjelaskan bahwa saat ini BATAN bekerja sama dengan PT Timah (Persero) Tbk untuk menyelesaikan pembangunan pilot plant LTJ di Bangka Belitung. Tahun 2016, pilot plant LTJ tersebut diharapkan bisa beroperasi.

"Kita masih mencari titik yang paling optimal baru kita scale-up," jelas dia.

Terkait teknologi pengolahannya, Agus mengungkapkan, saat ini peneliti BATAN telah mampu memisahkan sejumlah unsur LTJ dari mineral monasit.

"Memang belum semuanya. Tapi sekitar enam atau tujuh itu sudah bisa kita ekstrak. Bahkan yang 99% itu sudah tiga atau empat. Yang
70% ada dua, dan 50% ada satu," jelasnya.

Untuk mempercepat pemanfaatan LTJ di bidang industri, Agus mengatakan, pihaknya telah menggandeng sejumlah instansi. Salah satunya dengan Kementerian Pertahanan, BATAN rencananya akan segera menandatangani nota kesepahaman untuk meneliti dan menginventarisasi pemanfaatan mineral strategis yang dapat digunakan di dalam bidang industri pertahanan.

Komersialisasi LTJ Butuh Payung Hukum

Salah satu unsur LTJ yakni Lantanum dapat digunakan sebagai bahan campuran pembuat cat anti radar. Pesawat atau kapal laut yang dicat menggunakan cat berbahan lantanum dikatakan oleh Agus akan sulit untuk dideteksi radar.

"Kita sudah uji coba. Kita sudah mampu menghasilkan lantanum yang mampu menyerap sinyal hingga 85%. Padahal 40-45% saja sudah enggak terdeteksi," jelasnya.

Namun demikian, Agus mengatakan, untuk mengembangkan LTJ hingga pada tahap komersialisasi dibutuhkan payung peraturan perundang-undangan. Karena itu, dengan mengacu pada UU No. 10 Tentang Ketenaganukliran dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, saat ini Konsorsium LTJ Nasional tengah menyusun RPP dan Perpres untuk memudahkan proses hilirisasi.

"Mestinya memang harus ada badan pengelola sendiri yang sifatnya diamanatkan UU dan kemudian bisa mengkomersialisasi Tapi jangan sebagai komoditas saja, tetapi untuk kepentingan strategis dalam negeri," tegasnya.

(Adv/GR)