Sukses

MK Bolehkan Pilkada dengan Calon Tunggal

Pertimbangan majelis hakim, pilkada merupakan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, penyelenggaraan pilkada serentak 2015 bisa tetap berlangsung meski hanya terdapat satu pasangan calon saja.

Hal itu dinyatakan MK dalam amar putusannya yang mengabulkan sebagian uji materi Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada).

Uji materi itu digugat  Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru yang mempersoalkan syarat minimal pasangan calon dalam pilkada serentak.

"Mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon sebagian," ujar hakim MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusannya di ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/9/2015).

Dalam pertimbangan majelis hakim, pilkada merupakan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Artinya, pilkada harus menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.

"UU Pilkada harus menjamin itu. Pemilihan sebagai kepala daerah dipilih secara demokratis. Dipilih berarti ada kontestasi. Penyelenggaraan harus menjamin tersedianya ruang bagi rakyat untuk dipilih dan memilih. Maka harus disertai pemilihan yang demokratis. Tidak boleh ditiadakan," ucap Arief.

‎Majelis hakim juga menimbang, bahwa dalam UU Pilkada mensyaratkan terselenggaranya pilkada dengan syarat minimal telah membuat kekosongan hukum dan tidak memberi solusi. Maka hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada, di mana kedaulatan rakyat jadi terlanggar.

"MK tidak bisa membolehkan pelanggaran hak konstitusional rakyat. MK tidak akan membiarkan norma yang tidak sesuai undang-undang. Apalagi bila tersangkut dalam kedaulatan rakyat yang berdampak ada gangguan pada pemerintahan daerah," ujar dia.

Majelis Hakim juga berpendapat, bahwa tidak ada jaminan hak rakyat dapat terpenuhi jika pilkada harus ditunda karena tidak terpenuhinya syarat minimal dua pasangan calon. "Andaikata penundaan dibenarkan, maka tidak ada jaminan hak rakyat dipilih dan memilih dapat dipenuhi, yaitu ketentuan paling sedikit dua pasangan calon," ucap Arief.

Sebagai informasi, Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) digugat oleh pakar komunikasi politik Universitas Indonesia (UI) Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru.‎ Mereka mempermasalahkan soal syarat minimal dua pasangan calon dalam pilkada seperti yang tertuang dalam UU Pilkada telah merugikan hak konstitusional masyarakat. (Ron/Ein)*