Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi‎ Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Uji materi yang diajukan pemohon dari sejumlah LSM itu mempermasalahkan kewenangan Polri menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
Namun, uji materi tersebut terancam gugur lantaran MK adanya indikasi tanda tangan yang berbeda dari permohonan awal yang diajukan dengan permohonan yang sudah diperbaiki. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati pun mencecar pemohon soal tanda tangan itu.
Baca Juga
Dijaga Ketat, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Infografis Paslon RK-Suswono dan Dharma-Kun Tak Ajukan Gugatan Hasil Pilkada Jakarta 2024 ke MK dan Hasil Rekapitulasi Suara
Ridwan Kamil Batal Gugat Pilkada Jakarta ke MK, Golkar: Kita Kedepankan Budaya Jawa
"Tanda tangan kuasa hukumnya saya melihat seperti ditandatangani oleh satu orang dalam perbaikan permohonan. Karena ini berbeda sekali dengan permohonan awal," ujar Maria di ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (1/10/2015).
Advertisement
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat pun meminta agar kuasa hukum pemohon segera mengklarifikasi pertanyaan Maria. Sebab, kalau tanda tangannya terbukti palsu, maka permohonan uji materi ini dianggap main-main.
"Ini sangat berbahaya. Saya mohon pihak terkait (kepolisian) bisa lihat di situ. Nanti coba dilihat," ujar Arief.
Ia mengatakan jangan sampai dalam persidangan di MK terjadi hal yang dianggapnya tidak senonoh. Sebab, tidak seharusnya di institusi peradilan, pemohon malah memalsukan tanda tangan.
Salah satu pemohon Erwin Natosmal Oemar berdalih dalam prosesnya permohonan ini diajukan secara terburu-buru. Tapi dia menegaskan, bukan berarti para pemohon mengabaikan proses detail soal tanda tangan tersebut.
"Ini terbukti dari adanya pemberitahuan mengenai perubahan pasal hukum maupun yang tidak kami tanda tangani. Jadi yang tanda tangan orangnya langsung. Itu bisa dikonfirmasi ke masing-masing," ujar Erwin.
Atas temuan itu, hakim Arief meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari kuasa hukum pemohon, khususnya yang membubuhkan tanda tangan untuk diserahkan ke panitera MK agar dicek. Ia juga meminta polisi mengecek kebenaran tanda tangan tersebut.
"Polri sebagai pihak terkait dalam kasus ini kita minta klarifikasi dan identifikasi tanda tangan, Polri betul-betul bisa independen. Artinya keterangan itu kalau memang tanda tangannya otentik, katakan otentik. Kalau tidak, katakan tidak otentik. Karena bisa berakibat kalau ini palsu maka permohonan ini gugur," ujar Arief.
Masuk Kategori Pidana
Arief menjelaskan pemalsuan tanda tangan ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Namun karena ini bukan delik aduan maka dia mempersilakan Polri yang menangani persoalan ini. Dia pun meminta Polri untuk independen dalam mengusut hal ini. Sebab, kredibilitas Polri juga dipertaruhkan.
Dia meminta hasil identifikasi tanda tangan tersebut paling lambat dapat dilihat pada sidang yang akan datang. Terlebih, hal ini berhubungan erat dengan uji materi tersebut.
"Ini untuk menjaga kewibawaan mahkamah. Kalau ada permohonan dengan tandatangan palsu, itu melecehkan mahkamah. Para hakim sepakat harus kita jaga bersama kewibawaan mahkamah. Karena itu saya minta pada Polri meskipun sebagai pihak terkait yang berkenaan dengan permohonan ini, saya mohon Polri tetap independen," ujar Arief.
Pada tempat yang sama, Wakil Kepala Korps Lalu Lintas (Waka Korlantas) Polri Brigadir Jenderal Pol Sam Budigusdian sebagai pihak terkait mengaku menyesalkan atas adanya dugaan pemalsuan tanda tangan tersebut. Sam mengatakan tindakan itu jelas penghinaan pada peradilan.
"Ini berat sekali menurut saya. Pengadilan yang sangat mulia dilecehkan. Kalau itu palsu pengadilan dihentikan. Ini sungguh memalukan dan melecehkan," kata Sam.
Sam pun mendukung upaya majelis hakim yang meminta agar kepolisian turun tangan demi mengusut tanda tangan palsu tersebut dengan pembanding KTP masing-masing kuasa hukum pemohon. Menurut dia, jika terbukti pemohon bisa dijerat dengan pasal pemalsuan.
Untuk diketahui, Koalisi untuk Reformasi Polri yang terdiri dari Indonesia Legal Roundtable (ILR) diwakili Erwin Natosmal Oemar, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diwakili Julius Ibrani, dan lainnya menggugat sejumlah pasal dalam UU Kepolisian dan UU LLAJ.
Mereka menggugat kewenangan kepolisian dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88‎ UU LLAJ. (Ado/Bob)