Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam putusannya, MK menyatakan pasangan calon tunggal tetap bisa ikut pilkada dengan mekanisme pemilihan 'setuju' atau 'tidak setuju'.
Menurut Tjahjo, keputusan itu sudah sejalan dengan amanat negara dalam menghargai hak setiap warga negara. Terutama terhadap hak konstitusional pasangan calon.
Baca Juga
"Kami mengapresiasi putusan MK yang memberi hak politik dan hak konstitusi pada satu pasangan calon untuk bisa ikut dalam pilkada serentak yang terjadwal ini," ujarnya di Kemendagri, Jakarta, Jumat (2/10/2015).
Advertisement
Namun demikian, pemerintah belum menyiapkan mekanisme pemilihan dalam pilkada nanti seperti apa. ‎Meski di satu sisi, MK sudah memutus agar lebih tepat menggunakan mekanisme 'setuju' atau 'tidak setuju' pada kertas suara.
Kata Tjahjo, prinsipnya semua mekanisme akan diserahkan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pilkada. Lembaga itu nantinya akan duduk bersama wakil pemerintah dan DPR serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) guna membahas mekanisme proses pemilihan di daerah yang hanya terdapat 1 pasangan calon. Nantinya, hal itu akan dituangkan dalam Peraturan KPU.
"Saya yakin KPU konsisten melakukan tahapan Pilkada, sehingga akan menemukan solusi terbaik di 3 daerah yang hanya satu pasangan calon," kata politikus PDI Perjuangan ini.
Setuju atau Tidak Setuju
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada).
Permohonan ‎itu digugat oleh Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru yang mempermasalahkan syarat minimal 2 pasangan calon, sementara sejumlah daerah masih terdapat 1 pasangan calon saja alias pasangan calon tunggal.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Konstitusi berpendapat bahwa pilkada yang hanya diikuti oleh pasangan calon tunggal, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih untuk menentukan pilihannya dengan mekanisme 'setuju' atau 'tidak setuju' dengan pasangan calon tunggal tersebut.
Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'setuju', maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'tidak setuju', maka pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya.
Majelis hakim menilai, penundaan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara 'tidak setuju' tersebut. (Ado/Rmn)